Nama Agan Harahap tentunya tidak asing lagi buat kamu yang sering keluar-masuk timeline media sosial, atau yang rajin mengikuti berita-berita sosial politik yang beredar.
Pernah melihat unggahan foto mirip Presiden Jokowi dengan gaya anak punk? Atau foto Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengenakan seragam petugas SPBU Pertamina? Ya, kedua foto ini adalah karya seniman Agan Harahap.
Di tengah kesibukannya menyiapkan sejumlah karya, Agan menyempatkan diri untuk berbincang dengan Written via video call. Simak obrolan kami berikut:
Written (W): Selama pandemi ini sibuk ngajarin anak sekolah dari rumah juga nggak seperti bapak-bapak lainnya?
Agan Harahap (AH): Oh pasti! Dengan penuh emosi. (Agan memiliki dua orang anak, dan yang pertama baru menginjak SD)
W: Agan Harahap versi SD itu seperti apa?
AH: Bantet, item, sempat nggak naik kelas. Apa lagi ya? SD gue dulu di (BPK) Penabur, jadi wajar nggak naik kelas.
Tentang Jadi Seniman
W: Kapan pertama kali ngalamin/menikmati seni?
AH: Dari kecil gue suka menggambar apapun. Itu semua didokumentasikan oleh orang tua gue dan sampai hari ini masih ada. Prestasi gue adalah gambar gue waktu SD masuk buku Saat Teduh.
W: Setelah itu diterusin nggak lanjut belajar seni?
AH: Nggak, ketertarikan pas SMP dan SMA dulu malah main basket. Tapi, dilarang bokap, jadi dikirim ke Bandung.
Pengennya masuk ITB tapi nggak masuk. Karena udah betah di Bandung jadi akhirnya masuk ke Sekolah Tinggi Desain Indonesia jurusan DKV.
W: Karya seni yang pertama kali dibuat apa?
AH: Dulu sih gue nggak menganggap itu karya seni, ya. Tapi, mungkin kalau dilihat sekarang itu seni rupa fungsional. Dulu gue sangat nggak suka fotografi, karena sukanya gambar manual.
Dulu, foto itu masih pake film. Isi 36 bisa patungan dengan enam orang. Dan dari satu rol film itu hasil gue pasti paling jelek. Gimana caranya gue lulus mata kuliah Fotografi?
Jadi dari enam foto (teman gue) kan yang diambil cuma 1 tuh, selebihnya itu gue pinjam punya teman lalu gue edit di (software) Photoshop. Fungsionalnya adalah gue bisa lulus!
Gue juga pernah bikin pameran lukisan pas kuliah sama teman-teman. Kuratornya, Aminuddin (Ucok) TH Siregar. Habislah gue di situ. Jadi, nggak punya dasar apapun dalam melukis, tahunya melukis lalu bikin pameran.
Ya, tahu sendiri lah anak-anak Bandung kalau nge-judge bagaimana, apalagi gue masih kuliah.
Ada beberapa kali pameran setelah itu, tapi lagi-lagi nggak ada konsep dan rencana. Pernah juga majang karya Jalan Dago, malamnya opening, besoknya udah bersih karena dibersihkan tukang sapu jalan. Jadi, nggak sempat difoto.
W: Kenapa akhirnya milih fotografi?
AH: Pertama kali kerja itu gue sebagai digital imaging artist di perusahaan bridal di Jakarta. Kerjaan gue membirukan langit yang sudah biru dan menghijaukan langit yang sudah hijau.
Gue kebetulan berteman dengan mantan fotografer (majalah) Trax, Bayu Aditya. Pas Bayu hijrah ke Playboy, dia nanya: “Gan, elo mau nggak gantiin gue?” Gue jawab: “Tapi gue nggak bisa foto.”
Dijawab lagi: “Udah cuek aja.” Jadi gue cuek, pinjam portofolio teman, gue presentasi depan mas Hary Subastian (Head of Photographer MRA -grup media tempat Trax bernaung- saat itu).
Gue nggak tau speed itu apa, diafragma itu apa. Gue baru belajar fotografi ketika gue menjadi fotografer Trax. Gue baru diem-diem sambil belajar online.
W: Lantas jadi seniman gimana ceritanya?
AH: Awal-awal gue masuk MRA itu gue masih iseng. Jadi, ada foto bagus gue rusak dikit, gue ganti kepalanya jadi apa, kakinya jadi apa, background-nya gue ubah.
Waktu kuliah, gue dan teman-teman datang ke hampir semua opening pameran di Bandung. Mental gratisan karena (di opening pameran) senggaknya ada bir, syukur-syukur ada wine.
Mental gratisan ini kebawa sampai kerja. Kantor kan dulu di Wisma Kosgoro (area Thamrin Jakarta Pusat), tiap pulang ke rumah pasti lewat Galeri Nasional (Galnas).
Kalau Galnas ada opening, pasti minimal ada bir dan wine. Jadi, tiap ada rame-rame pasti gue mampir. Kalau mampir, gue nggak ngecek pameran siapa, karyanya apa, gue pasti selalu melipir ke pojokan.
W: Pojok refreshment ya?
AH: Iya. Nah, suatu kali di pojokan itu ada pengumuman open submission Indonesia Art Award 2008. Iseng-iseng gue submit-lah karya gue. Dan ternyata keterima.
Karyanya digital imaging, bahan bakunya masih foto. Diterima jadi nominator dan pameran. Jadi setelah itu ya udah. Kalau sebelumnya gue ke pameran Galnas melipir di pojokan, gue udah mulai agak sombong karena pernah berpameran di sana dan mulai kenalin-kenalin diri.
Sampai akhirnya ketemu lah gue sama Angki Purbandono, salah satu founder Mes 56. Nggak disangka nggak diduga, Angki adalah fotografer pertama majalah Trax yang dulu namanya adalah MTV Trax. Dari situ gue dan Angki jadi CS (baca: bersahabat).
Tahun 2009, pameran tunggal pertama gue di Mes 56 Yogya. Bulan-bulan Agustus kayak sekarang nih (saat wawancara) berarti udah 11 tahun yang lalu.
W: Langsung pameran tunggal?
AH: Yoi!
W: Karyanya apa?
AH: Dulu itu koleksinya namanya Safari. Konsepnya itu kalau kita biasa melihat binatang-binatang di kandang, nah ini kebalik, binatang-binatang yang ada di environment kita. Dan itu Photoshop semua. Spot-spot (Wisma) Kosgoro itu banyak yang gue jadiin karya.
Setelah pameran tunggal, ya udah mulailah gw bisa jadi selonong boy.
Isu-Isu Yang Diangkat Lewat Karya
W: Dari awal mulai berkarya, ada nggak sih tema besar dari karya-karya elo?
AH: Sebetulnya, tiap pameran tiap karya pasti ganti-ganti. Tapi garis besar adalah gue mempertanyakan kembali realisme dalam fotografi. Realisme itu kan sangat luas, gue persempit dengan mempertanyakannya via digital. Itulah proyek-proyek continuous sampai saat ini.
W: Unsur-unsur lokalitas itu penting nggak ada di karya seorang Agan Harahap?
AH: Penting. Saking pentingnya malah gue mentok sama lokal. Jadi kalau dulu gue bikin Safari, Superhero, atau karya yang pameran di Galnas itu sebenarnya narasinya global. Tapi makin ke sini, apalagi dengan adanya media sosial, gue itu lebih enjoy membuat karya dengan narasi-narasi lokal.
W: Isu-isu seperti apa yang biasanya langsung bikin elo tertarik buat dijadiin karya?
AH: Nggak ada. Rata-rata spontanitas. Politik, agama, sosial, budaya, apa yang gue baca di timeline gue yang seliweran itu. Kalau gue ke-trigger ya gue putusin bikin karya saat itu juga.
W: Kenapa pindah ke Yogya, Gan?
AH: Realistis aja. Penghasilan kadang kere kadang hore di Jakarta, mau punya anak gimana di Jakarta. Ke Yogya aja lah. Di sini bisa hore walaupun kere!
“Hidup di Yogya bisa hore walaupun kere!“
— Agan Harahap
W: Momen-momen penting dalam hidup ikut mempengaruhi proses bikin karya juga nggak? Kayak waktu nikah, punya anak, dan lainnya?
AH: Antara iya dan tidak. Kalau dicari-cari atau ditarik-tarik bisa. Tapi karya itu buat gue adalah reaksi spontan. Tapi unsur spontanitas itu sangat mungkin datang dari kehidupan pribadi gue.
W: Menurut elo, produktivitas dalam berkarya itu seperti apa sih? elo punya target nggak?
AH: Gue nggak pernah punya target. Karena ketika gue membuat karya dalam keadaan maksa atau disambung-sambungin itu biasanya jelek.
W: Pernah bikin karya paling cepat berapa lama?
AH: Lima menit. Respon gue terhadap fobia orang-orang terhadap bangkitnya komunisme Indonesia.
Jadi, waktu itu sampai orang jualan kaus band metal yang ada palu aritnya itu di Blok M, gue lupa nama band-nya apa. Cover-nya ya memang ada palu aritnya, nggak ada hubungannya sama kebangkitan komunisme. Itu sampai ditangkap polisi dan gue geregetan.
Akhirnya gue bikin ikan louhan kan suka ada motifnya tuh. Gue pakein clone stamp (salah satu tool di Photoshop) gue kasih palu arit di jidatnya. Gue taruh di Facebook, dalam sejam udah 4.000-an share.
W: Gokil. Yang paling lama apa?
AH: Ada sampai sekarang belum selesai, hahaha. Proyeknya udah 70% tapi akhirnya gue batalkan karena ada beban moral. Jadinya akan terlalu ribet kalau gue pamerin karya ini.
W: Turn off elo dalam berkarya apa?
AH: Macam-macam. Misalnya karya yang buat Makassar Biennale, Jampi Tinampi. Sebenarnya dari perencanaan awal sampai hari ini itu perubahannya udah jauh.
Karya-karya gue kebanyakan merespon isu sosial dan isu sosial kan sangat berubah. Kita obrolin Corona aja misalnya. Bulan April, sekarang (Agustus 2020) udah kayak biasa aja. Tapi untungnya gue cepat beradaptasi sama keadaan-keadaan seperti itu. Jadi gue nggak mentok di satu tema.
W: Lagi sibuk bikin karya untuk apa aja?
AH: Art Jog
W: Yang besok ini? (wawancara dilakukan sehari sebelum opening Art Jog MMXXI Resilience tahun 2020)
AH: Iya hehehe. Terus ada Art Jakarta, dan beberapa kolaborasi sama brand.
W: Pameran tunggal kapan, Gan?
AH: Tahun depan antara bulan Mei atau Juni.
W: Karya-karya ada format baru?
AH: Belum nemu wangsit!
Karyanya di Kancah Internasional
W: Ceritain dong tentang karya elo yang dikoleksi Hamburger Bahnhof Museum, Mardijker Photo Studio!
AH: Jadi itu potret orang-orang Belanda mengenakan baju ala Indonesia, orang pribumi mengenakan baju-baju internasional. Fashion-nya gue balik. Kata Mardijker ini diambil dari bahasa Sansekerta, mahardika, yang artinya merdeka.
Ada sebutan “Belanda Depok”, nah itulah bagian dari Mardijker. Orang-orang pribumi yang kerja atau keturunan atau bersinggungan sama Belanda.
Orang-orang yang hidup di antara ini. Ketika 17 Agustus 1945 dan Konferensi Meja Bundar 1949, mereka ini bingung identitasnya ada di mana. Makanya sebagian ada yang ke Belanda, ada yang bertahan di Indonesia. Serial ini adalah orang-orang yang kehilangan identitas.
Relevansinya sama sekarang adalah gue merasa kita kehilangan identitas dengan berbagai pengaruh budaya-budaya lain yang masuk. Kita semacam kehilangan jati diri. Respon gue adalah membuat karya itu.
Totalnya ada 114 karya, di Berlin itu cuma sebagian. Karya ini pertama kali gue pamerin di Noordelicht Photo Festival, Groningen, Belanda, lalu Singapore Biennale, lalu Hamburger Bahnhof.
W: Pertama kali pameran di Eropa tahun berapa?
AH: Tahun 2008 tuh. Setelah gue pameran di Galnas. Itu juga keajaiban online. Waktu gue di Trax, gue iseng submit-submit karya apa kemana. Satu kali tembus, gue pameran di Portugal tahun 2008. Gw izin nggak kerja 2 minggu karena pameran di Portugal.
W: Wow! Temanya apa karyanya?
AH: Merespon sebuah desa. Jadi yang bikin lomba itu sebuah desa di Portugal, 3 jam dari Lisbon di Provinsi Alentejo. Kota ini yang memproduksi cork untuk wine.
Semua fotografer yang terpilih bebas boleh berpameran di mana aja tempat yang dia pilih. Ada yang di kafe, pusat kebudayaan, istananya Ratu Isabella, wine cellar, tempat militer, jadi bebas.
Sebagai putra daerah, ya gue di pusat kebudayaan lah biar nggak ngawur-ngawur banget. Pertama kali, ya di tempat yang proper lah.
Sehari-hari Seperti Ini…
W: Oke sekarang kita pertanyaan yang pendek-pendek aja ya, elo morning atau night person?
AH: Very morning person.
W: Masa? Dari dulu?
AH: Semenjak punya anak. Gue tidur jam 10 atau 11, lalu gue bangun jam 3 subuh.
W: Jenis seni lain yang pengen elo pelajari/kuasai?
AH: Ikebana sih. Gue lagi belajar ikebana.
W: Kenapa? Gara-gara pandemi?
AH: Gara-gara deadline karya!
W: Siapa greatest artist alive menurut elo?
AH: Tuhan!
W: Ntap. Percaya teori konspirasi nggak?
AH: Iya dan tidak. Gue cuma percaya apa yang menyenangkan buat gue aja.
W: Contohnya?
AH: Nggak usah takut sama COVID-19 karena COVID-19 adalah penyakit yang bisa sembuh sendiri. Itu gue percaya.
W: Lebih suka baca buku atau nonton film?
AH: Dua-duanya.
W: Buku/Film favorit?
AH: Gue lagi demen nonton film perang China yang kolosal.
W: Ada sejarahnya juga sekalian ya
AH: Persis! Semua yang kolosal gitu gue suka lah.
W: Kalau buku, biasanya baca buku apa?
AH: Tergantung. Kalau gue ke Gramed (Gramedia) gue beli yang aneh-aneh tapi akhirnya nggak kebaca. Misalnya gue beli buku Madilog-nya Tan Malaka, pas gue baca ternyata berat banget akhirnya nggak diterusin.
Jadi gue itu pasti ke pojok sosial budaya atau tokoh. Seperti Seri Buku Tempo tentang Sekarmadji Kartosuwiryo, nah yang kayak gitu-gitu gue bacain tuh!
W: Cita-cita apa yang belum tersampaikan?
AH: Pengen punya rumah sendiri gue. Itu cita-cita yang paling nggak muluk-muluk.
W: Pendapat anak elo pas liat karya?
AH: Bodo amat! Flat aja biasa. Waktu kita SD gitu kan, kita nggak peduli apa yang bapak kita kerjain, taunya main.
W: Anak-anak elo mulai nunjukin ketertarikan sama seni?
AH: Biasa aja sih. Teman-temanya pada pengen jadi tentara, pilot, anak gue pengen jadi Spiderman kalau udah gede. Yang cewek bahkan masih pengen jadi Barbie.
W: Bagus belum pengen jadi YouTuber?
AH: Betul, belum-belum. Tapi ya kita nggak tahu terobosan teknologi seperti apa dan cita-citanya jadi berkembang seperti apa nantinya, kita nggak tahu.
W: Kita aja masih bisa ganti profesi ya…
AH: Persis!
W: What’s next yang harus ditunggu dari Agan Harahap dalam waktu dekat?
AH: Nggak ada. Nggak usah ditungguin! Masih banyak PR yang harus gue selesaikan dulu baru gue mikirin yang lain.
Baca juga cerita profil desainer dan seniman selain Agan Harahap di kanal profil Written.