Dalam arsitektur Jepang masa kini, rasanya tidak ada tokoh seikonis Tadao Ando. Gaya arsitekturnya yang memanfaatkan natural light secara kreatif–dan imajinatif–dalam lanskap natural membangkitkan rasa kagum, sekaligus bertanya-tanya, bagaimana bisa pengalaman berada pada suatu ruang membangkitkan banyak indra, layaknya sedang berada di tempat yang terpisah dari dunia luar?
Daripada menghancurkan lanskap alami demi membangun gedung, Tadao malah menjadikannya sebagai esensi utama desain. Jadilah bangunan yang terasa tulus, meditatif, sederhana, dan membuat penghuninya merasa hadir.
Untuk museum yang dibangunnya, Tadao punya aturan sendiri bagaimana pengunjung harus bersikap–seperti membuka sepatu dan tidak boleh berfoto–supaya puisinya dalam tiap sela bangunan bisa tersampaikan sempurna.
Ia membuat sebuah lokasi menjadi kontemplatif, jadinya pengunjung bisa merespon dengan emosi, lewat struktur-struktur beton yang terlihat sederhana namun megah sekaligus.
Konstruksi beton Tadao disebut “smooth-as-silk” mengetahui sulitnya menemukan teknik penuangan dan campuran beton yang tidak mudah retak. Dipercantik dengan lubang-lubang dangkal bulat yang berjarak simetris di tepi balok beton sebagai trademark-nya. Kepiawaian Tadao bahkan menyelamatkan Rokko Housing dari gempa bumi The Great Hanshin di tahun 1995, meski hampir seluruh gedung di sekitarnya terdampak, bahkan hancur.
Exposed concrete jadi struktur sekaligus tampilan utama–tanpa plester maupun cat–membuat bangunan hasil karya Tadao terlihat naked. Secara gamblang spesialisasinya meracik material terlihat dari bagian terdalam bangunan, narasi ini lebih jujur ketimbang kata-kata. Tak heran, kalau saat berada dalam karyanya, orang akan merasa tersentuh.
Masa Muda
Tadao Ando lahir di Osaka, tepatnya tanggal 13 September 1941 (saat artikel ini ditulis, ia berusia 81 tahun). Dengan kembarannya, Takao Kitayama, mereka dibesarkan terpisah sejak usia dua tahun. Ia tinggal dan dibesarkan oleh nenek buyutnya, kemudian menggunakan nama belakang sang buyut, Ando.
Di masa mudanya–waktu setelah masa perang dunia kedua–tak banyak profesi yang bisa dipilih Tadao. Dalam kesehariannya, Tadao sering mengikuti ayahnya bekerja sebagai tukang kayu. Ia sendiri pernah menjadi sopir truk, juga sempat berkarier sebagai petinju profesional.
Kecintaannya pada arsitektur tumbuh sejak melihat buku kumpulan sketsa Le Corbusier di umur 15 tahun, dan semakin jelas saat melihat karya Frank Lloyd Wright, Imperial Hotel Tokyo, waktu mengunjungi Tokyo di tahun keduanya di SMA.
“Sangat penting untuk seseorang melihat banyak lanskap–bepergian membentuk seorang arsitek. Saya menjadi petinju karena pertandingannya membuat saya bisa bepergian ke luar negeri dan merasakan berbagai gaya arsitektural”, jelas Tadao dalam interview-nya bersama Tatler.
Ia kemudian meninggalkan karier sebagai petinju dua tahun setelah lulus SMA untuk mengikuti kelas desain interior non-formal. Selama bertahun-tahun Tadao memotong uang makannya demi menabung untuk membeli buku, salah satu guru terbaiknya dalam belajar menjadi arsitek.
Maka benar adanya kalau Tadao Ando disebut sebagai arsitek otodidak atau self-taught, karena dirinya memang tak pernah sekalipun mengenyam pendidikan formal dalam bidang desain maupun arsitektur.
Mendirikan Tadao Ando Architectural & Associates
Setelah percaya diri, Tadao Ando kemudian mendirikan Tadao Ando Architect & Associates–sebuah studio desain dengan hanya satu desainer di dalamnya, Tadao Ando sendiri–pada 1969. Awalnya, Tadao fokus mengerjakan proyek perumahan, hingga lahir salah satu karya masterpiece-nya di masa-masa awal karier, Row House in Sumiyoshi atau sering juga disebut Azuma House di tahun 1976.
Row House berupa rumah beton kecil dua lantai, dibuatnya atas permintaan sang klien dengan mimpi memiliki rumah yang membuatnya “merasa tidak berada di Jepang”. Maka Tadao menghilangkan celah jendela dari desainnya. Di masa itu, karyanya ini benar-benar terlihat seperti alien, mengherankan.
Ia membuat rumah berbentuk geometris, membaginya dalam 3 kolom sama besar yang dipisahkan patio di bagian tengah. Ruang terbuka ini menjadi satu-satunya kompensasi bagi rumah yang tak memiliki jendela, sebagai pengatur arus udara dan sumber cahaya. Tapi nyatanya, ia berhasil. Tadao menciptakan ruang harmonis dengan menyatukan estetika dan fungsi.
Karya ini juga yang akhirnya membuat nama Tadao Ando mulai dikenal dan mendapat berbagai penghargaan, kemudian membawanya memenangkan proyek Rokko Housing, salah satu karya terbaik Tadao yang mengantarkannya pada Pritzker Architecture Prize.
Tadao Ando Kini
Tadao Ando yang dahulu senang membuat karya dari nol, sempat juga melakukan–dan menikmati proses–proyek alterasi, seperti saat membuat Aurora Art Museum di Tiongkok.
“Alterasi bukanlah tugas yang mudah. Karena bangunan sudah ada sebelum saya membuat konsep, saya tidak bisa mempresentasikan ide desain sendiri secara seutuhnya. Posisi ini awalnya membuat ragu dan bingung. Itu sebabnya saya tidak terlalu tertarik. Tapi persetujuan pemilik yang membiarkan saya mengubah struktur interior dan fasad sebebas mungkin, benar-benar mengubah pikiran saya.”
Setelah lebih dari 5 dekade berkecimpung dalam dunia arsitektur dan membangun lebih dari 170 bangunan, Tadao Ando yang dijuluki The Master of Light, mungkin akan segera pensiun.
Awalnya ia berniat pensiun di umur 65 tahun, namun dalam interview bersama Tatler tahun 2012 silam, Tadao menyampaikan niatnya untuk bekerja hingga usia 80. Namun karena hingga kini belum ada pengumuman resmi jika dirinya telah pensiun, masih banyak orang yang berharap bisa melihat karya baru Tadao Ando di masa depan.