Saatnya kita membahas soal seni rupa modern (jangan, jangan nguap dulu). Sebetulnya apa arti kata “modern” itu? Lawan katanya sendiri “kuno” atau “tradisional”, yang berarti memiliki implikasi meninggalkan apa yang tradisional/kuno untuk sesuatu yang lebih baru/modern.
Dalam konteks seni rupa modern Indonesia, transisi itu berawal dari kehadiran kaum kolonial Belanda di Tanah Air. Proses tersebut tak kontan terjadi—meskipun seni dan apa pun wujudnya, bisa dilakukan siapa saja. Namun pada saat itu seni identik dengan kaum bangsawan.
Lantas tak heran salah satu figur yang dianggap sebagai pelopor seni rupa modern Indonesia berasal dari keluarga ningrat. Orang itu adalah Raden Saleh. Tak dimungkiri bangsawan asal Semarang ini berperan besar dalam memajukan—dan menyebarluaskan—seni rupa modern Indonesia ke khalayak internasional.
Raden Saleh kian mengasah bakat melukisnya di Belanda dan beberapa negara di Eropa lainnya tempat ia memperdalam seni pilihannya. Ia juga sering memamerkan hasil karyanya (termasuk pameran di Paris).
Salah satu karya seninya yang tenar adalah Antara Hidup dan Mati (1870) yang menggambarkan pergumulan man vs nature diwakili oleh sosok manusia, kuda, dan singa. Jelas penggambaran yang sangat modern.
Namun, di luar itu, pelukis Indonesia legendaris itu lebih dikenal sebagai landscape painter yang mengabadikan keindahan alam Indonesia.
Mooi Indie
Di Indonesia sendiri terjadi oposisi antara tema yang diangkat oleh para seniman modern Indonesia pasca Raden Saleh. Seperti yang jadi topik utama pameran Museum Macan baru-baru ini, para kritik seni menganggap para perupa seni modern Indonesia pada saat itu.
Abdullah Suriosubroto atau mas Pirngadie dianggap terlalu meromantisasi gambaran akan Indonesia demi pasar konsumen barat. Pelukis dan kritik seni, S. Sudjojono (yang pengamat seni anggap sebagai “Bapak Seni Rupa Modern” yang sebenarnya), menciptakan label yang bisa dibilang nyinyir, yaitu mooi indie atau Hindia molek.
Singkat katanya, terlalu kebarat-baratan; sesuatu yang nantinya bisa jadi suvenir untuk di bawa pulang ke negara mereka.
Merunut sejarah seni rupa modern Indonesia tak terlepas dari gejolak perjuangan mewujudkan negara yang merdeka dari pengaruh kolonialisme. Beberapa pelukis seni modern generasi baru seperti S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandi—ketiganya termasuk kaum proletar—berada di garda depan soal ini, melukiskan kehidupan rakyat kecil yang lebih realistis dan sarat semangat nasionalisme.
Pergantian haluan dalam gaya dan penjiwaan seni rupa modern Indonesia tersebut terjadi sekitar tahun 1930an. Ini merupakan buah karya sejumlah asosiasi seniman Indonesia serta sekolah-sekolah seni yang menganut pendidikan progresif.
Taman Siswa di Yogyakarta (sekolah tempat Sudjojono mengenyam pendidikan) dan PERSAGI (Persatuah Ahli Gambar Indonesia) di Jakarta muncul sebagai respons atas pencarian identitas seni Indonesia yang berpijak pada kondisi sosial, budaya, dan politik.
Walau begitu, beberapa penggagasnya, seperti ketua PERSAGI Agus Djaja Suminta, juga mengusulkan penerimaan antara gaya perpaduan tradisional dan modern.
Seni Kontemporer
Perkembangan seni rupa modern Indonesia kemudian lagi-lagi dipengaruhi oleh situasi sosial dan politik pada masanya. G30S PKI dan masa pemerintahan Soeharto jadi tema yang umum diangkat oleh para perupa seni modern Indonesia, seperti Susu Raja Celeng karya Djoko Pekik.
Namun era reformasi kembali menyulut masa transisi. Alih-alih seni modern, kini label yang disemat adalah seni kontemporer.
Sesuai namanya, seni kontemporer yang berkembang pada 1980an ini berkisar pada tema-tema yang tak hanya berpusat pada headline politik tapi juga pada isu-isu kontemporer yang terjadi dalam bidang lain.
Isu-isu itu dihadirkan dengan cakupan wujud karya yang lebih beragam seperti instalasi, seni pahat, dan mural—ketiganya kerap jadi andalan seniman kontemporer, Eko Nugroho.
Pada intinya, awal seni rupa modern di Indonesia memang terpicu dari kedatangan penjajah Belanda. Tentu banyak pecahan kategori seni yang kita anggap “modern”—kubisme, modernisme, surealis—tapi wujud seni rupa modern Indonesia bertolak dari respon dan keinginan rakyat akan otonomi negara yang membuatnya terasa lebih ekspresif, kultural, dan realistis.
Pulasan ala mooi Indie itu tentu terkadang masih ada, tapi hal tersebut tidak lagi menjadi hal utama yang mendefinisikan wajah asli seni rupa modern Indonesia.