Ruang hening. Untaian kata mengalir. Emosi meluap. Begitulah suasana yang biasa terasa di tiap perhelatan poetry slam, ketika para partisipan menumpahkan isi hati mereka dalam bentuk puisi yang mereka bacakan di hadapan penonton dan juri.
Poetry slam merupakan kegiatan seni yang memadukan seni sastra dan seni pertunjukkan (performing art). Kegiatan yang mulai marak pada 1980an ini menariknya diinisiasi oleh seorang pekerja konstruksi bernama Marc Kelly Smith asal Chicago, Amerika Serikat.
Di luar pekerjaannya, Marc menyambi sebagai poet dan sering tampil di klub jazz state asalnya, Illinois. Tak lama ia pun mulai membuat acara khusus untuk kegiatan yang kemudian dijuluki poetry slam ini yang bisa diadakan di mana pun, termasuk di coffee shop.
Impromptu poetry reading ini sendiri terinspirasi oleh generasi Beat Poets yang lahir pada tahun 50an yang pada saat itu melabelkan diri sebagai countercultural poet yang menentang kekakuan berekspresi, gaya hidup materialistis, dan keputusan-keputusan kontroversial pemerintah. Penyair-penyair dalam beat poets ini termasuk Allen Ginsberg, Jack Kerouac (pengarang novel klasik, On The Road), dan Diane di Prima.
Marc tidak berniat untuk membangkitkan kembali semangat kebebasan beat poets (yang memiliki “tagline”, first thought, best thought) melalui poetry slam, tapi lebih untuk menyediakan platform—dan venue—bagi para penyair dan penulis yang ingin karya mereka juga didengar.
Semua orang bisa ikutan, dan dari awal memang kegiatan poetry slam bersifat sukarelawan. Terkadang materi mesti disesuaikan dengan tema acara, tapi lebih sering mereka bebas membacakan puisi karya orisinal bertema apapun.
Kini, poetry slam sudah diadakan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Ubud Writers & Readers Festival rutin mencantumkan kegiatan poetry slam dalam program tahunan mereka. Pujangga amatir dan pengarang buku puisi berbagi panggung untuk membacakan puisi mereka yang kemudian dipilih pemenang oleh tim juri dan penilai sukarelawan dari penonton.
Kebanyakan membaca dari selembar kertas (atau layar handphone), tapi ada juga yang melakukannya tanpa “contekan” yang kerap terasa seperti mereka menciptakan puisi on the spot.
Bali sendiri memiliki komunitas poetry slam, yaitu Bali Poetry Slam yang diprakarsai oleh Virginia Helzainka dan Trifitri Muhammaditta. Pada 18 November 2023 silam, mereka mengadakan acara poetry slam final yang mengadu pemenang dari acara road show yang digelar di tiga daerah: Singaraja, Ubud, dan Denpasar.
Tujuh finalis membacakan puisi yang disesuaikan tema acara, yaitu Unspoken Misery yang mewajibkan tema puisi memiliki elemen kesengsaraan atau penderitaan. Tema-tema menggugah—dan terkadang, kocak—pun disuarakan, mulai dari soal cinta, kesepian, tuntutan keluarga, stres kemacetan, hingga soal korban pelecehan seksual dan perang Israel-Pakistan.
Berkat perpaduan makna puisi yang kuat (baca karya puisinya di bawah) dan kepiawaian gaya membaca yang tegas nan teatrikal, gelar Slam Champion 2023 akhirnya diberikan kepada Bayu Lesmana asal Tegal, Jawa Tengah.
Dari beat poet hingga poetry slammer, entah aliran kamu sebagai penyair, setidaknya karya seni puisi tetap hidup dan tersuarakan.
Tertarik menyuarakan karya puisi kamu? Follow akun IG @unspokenpoetryslam untuk memantau agenda kegiatan mereka berikutnya.
Kelas Pekerja oleh Bayu Lesmana
Detak ini berdebar,
Di jantung dan di mega
Kalut darah yang gusar
Menarik seluruh perkara
Entah yang silam lampau: lagu lama.
Lalu terbangun aku
Pada ketiak pagi yang sudah tinggi
Terlanjur siang,
Detik-detik menuntut ganti
Uang-uang lari ngibrit
Terlalu cepat
Kembali kosong,
Nol-nol berhamburan
Kembali tunggui awal bulan.
Kere.
Miskin lagi.
Pinjaman online ajukan diri
Bunga mimpi menanti diketik
Dewa Zeus menunggu hadir
Kembali gadaikan janji
Pola yang sama
Akut.
Mayday! Mayday! Mayday!
Upah terjun bebas.
Anak nangis lemas
Istri mulai berkemas
BASARNAS!
Ini bencana tak bernas.
Ribut lagi.
Sudah miskin, buruh pula
Mudah digerus
Jarang diurus
Korban pejabat rakus.
Mampus