Sosok Muse yang Menginspirasi Seniman untuk Berkarya

Sahiri

Sosok muse sudah diperkenalkan dalam mitologi Yunani. Siapakah mereka dalam konteks dunia modern?

Sutradara Yorgos Lanthimos dan muse/creative partner Emma Stone

Dalam dunia layar lebar, seorang muse (atau sosok yang menginspirasi) lebih sering dilontarkan dalam konteks hubungan kreatif sutradara dan aktor yang berkelanjutan.

Contoh terkini adalah antara Emma Stone dan sutradara Yorgos Lanthimos yang sudah berkolaborasi dalam tiga film: The Favorite, Poor Things, and Kinds of Kindness. Bahkan Emma akan kembali melakoni film Lanthimos berikutnya yang berjudul Bugonia.

Walau begitu, sekarang ini jarang dipakai istilah muse untuk mengacu pada kolaborasi kreatif antara aktor dan sutradara—creative partnership adalah terma yang lebih dipilih.

Hal ini dikarenakan ada masanya ketika muse berkonotasi miring: muse adalah seorang wanita cantik yang pada umumnya memiliki hubungan romantis dengan seorang seniman.

Term muse sendiri datang dari mitologi Yunani yang mengisahkan sembilan dewi anak Zeus yang menginspirasi para pujangga untuk berkarya. Mereka dianggap sebagai patron of the arts, dan dari merekalah karya seni terindah lahir.

“Gagasan ‘memanggil seorang muse’ sebetulnya lebih mengacu pada roh, bukan orang,” tulis Katie McCabe, pengarang buku More Than a Muse: Creative Partnerships That Sold Talented Women Short. “Sosok muse menawarkan sumber inspirasi bagi seniman, tapi ‘sumber’ tersebut bisa hadir dalam beragam bentuk, entah itu berpose sebagai model atau hanya memberikan usulan dan mendukung melalui proses kreatif.”

Film komedi The Muse (1999) yang dibintangi Sharon Stone mengangkat tema tersebut ketika seorang penulis skenario mengalami writer’s block yang kemudian menggunakan jasa seorang “professional muse” untuk membantunya menemukan inspirasi untuk menulis kembali.

Salvador Dali & Gala Diakonova

Sepanjang sejarah dunia seni, memang selalu ada sosok muse di balik seniman terkemuka. Tak hanya di balik, tapi kerap mereka pun terpampang jelas pada kanvas. Seperti Gala Diakonova (1894 -1982), istri dan muse Salvador Dali yang jadi inspirasi lukisan beraliran surealis Leda Atomica, Portrait of Galarina, and Galatea of the Spheres.

Sosoknya terbukti begitu berpengaruh dalam hidup Salvador Dali hingga ia kerap membubuhkan nama mereka berdua pada lukisan-lukisannya.

Beberapa muse memiliki kepribadian free-spirit dan glamor yang jadi magnet bagi para seniman. Socialite Marie-Therese Walter (1907–1977) jadi muse Pablo Picasso untuk lukisan Le Reve and Nude and Green Leaves and Bust yang menampilkan Marie dalam gaya Picasso yang khas;

Sarah Bernhardt (1844–1923) adalah seorang aktris teater asal Prancis yang jadi muse di era Art Nouveau terutama bagi pelukis Alphonse Mucha; sementara Kiki de Montparnasse (1901–1953) bekerja sebagai penyanyi klub malam, model, dan aktris sebelum dia bertemu dengan pelukis dan fotografer beraliran surealis Man Ray dan jadi model dalam dua lukisan Man Ray yang terkenal, Le Violon d’Ingres and Notre et Blance.

Kiki de Montparnasse dalam foto karya Man Ray

Elizabeth Siddal (1829–1862) menjadi inspirasi dan model lukisan Ophelia karya John Everett Millais yang iconic. Sosok Siddal yang memiliki kecantikan klasik pada masanya jadi favorit para seniman, salah satunya Dante Gabriel Rossetti yang kemudian ia nikahi. Rossetti menjadikan Siddal sebagai model pada beberapa lukisannya yang terkenal.

Lalu, jika sosok muse telah menginspirasi begitu banyak karya seni klasik—mengapa berkonotasi negatif?

Selain hubungan romantis yang mereka jalin dengan sang seniman, beberapa muse dunia seni sebetulnya adalah seniman juga yang pada akhirnya kreativitas mereka tenggelam karena sosok mereka yang lebih dikenal sebagai seorang muse.

Seringkali, setelah sang seniman meninggal, mereka pun tak terdengar lagi. Seperti Camile Claudel, seorang asisten sebelum jadi muse pelukis Auguste Rodin, yang memiliki minat dan bakat sebagai seniman pahat tapi yang tak bisa sepenuhnya memaksimalkan potensinya.

Kiki de Montparnasse pun merupakan seorang pelukis, dan bahkan ia pernah menggelar ekshibisi karya lukisannya pada tahun 1927 yang menampilkan objek kehidupan urban.

Walau begitu tetap tidak bisa diremehkan pengaruh para muse dalam dunia seni. Apakah Picasso bakal tetap berkarya jika Gala Diakonova tidak mendampinginya? Ekspresi “behind every great man, is a great woman” ada benarnya dalam konteks muse yang jadi inspirasi para seniman tenar.

They live to inspire after all.

Marie Therese Walker dalam lukisan Picasso

SHARE :
WhatsApp
Facebook
Twitter
Email
Other Articles