Seni hasil AI atau kecerdasan buatan kembali jadi sorotan setelah acara lelang terbaru rumah lelang Christie’s
Written pernah menulis artikel tentang Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan yang kini kian merajalela ke industri kreatif, termasuk seni. Industri yang dipandang sebagai murni ekspresi kreativitas manusia—lantas apakah tetap bisa dianggap sebagai karya seni murni dan penciptanya sebagai seniman apabila gagasan serta penerapannya melibatkan algoritma?
Isu yang baru-baru ini mencuat (kembali) dipicu dari sumber sama: rumah lelang Christie’s. Tahun lalu mereka sukses menjual lukisan Portrait of Edmond Belamy yang dibuat dengan kecerdasan buatan. Sebuah karya yang lahir dari perpaduan ribuan foto yang diserap oleh algoritma AI.
Februari silam, Christie’s mengadakan acara lelang yang fokus pada AI Art bertajuk Augmented Intelligence. Koleksi yang dilelang menampilkan AI-generated art persembahan 34 seniman digital, dan salah satunya merupakan karya klasik dari sosok yang dianggap sebagai pionir AI art.
Dia adalah Harold Cohen yang pada tahun 1973 menciptakan sebuah gambar melalui program prototipe kecerdasan buatan yang ia beri nama AARON. Christie’s melelang salah satu lukisan (atau mungkin lebih tepat disebut sketsa) Cohen bertajuk “Untitled (i23-3758)” yang ia buat pada tahun 1987.
Dan betapa waktu telah berubah, yang kadang terasa sangat cepat. Karena kini teknik AI-generated art tak hanya dihasilkan dari menjejali keyword ke dalam suatu program AI (seperti Midjourney dan Sora) yang kemudian mengerahkan pasukan algoritma untuk mewujudkan permintaan bagai seorang genie digital.
Atau hanya menciptakan koleksi NFT (Non-Fungible Token) yang terkadang menawarkan karya absurd. Pada acara lelang Christie’s, satu karya seni AI mencuat berkat elemen inovasi, novelty, dan kecanggihan teknologi kecerdasan buatan yang digunakan.
Karya tersebut dipersembahkan oleh seniman dan ahli robotik, Alexander Reben. Ia mengerahkan keahliannya untuk menciptakan sebuah lukisan “setengah jadi” yang pada akhirnya rampung (memanfaatkan teknik out painting) tiap kali angka lelang bertambah $100. Untuk menyelesaikan lukisan, sebuah robot menambah cat minyak pada kanvas berukuran 10×20.
Welcome to the digital art era.
Jelas perhelatan AI-generated art oleh rumah seni bergengsi seperti Christie’s ini menuai kritikan dari para seniman tradisional. Sebanyak 6.400 seniman melayangkan open letter kepada Christie’s yang memuat “Many of the artworks you plan to auction were created using AI models that are known to be trained on copyrighted work without a license.” Dan kekhawatiran mereka patut dianggap serius karena penggunaan marak AI telah mengurangi peluang pemasukan bagi seniman tradisional.
Apakah seni dan teknologi bisa eksis berdampingan secara harmonis? Menurut Christie’s, melalui pernyataan direktur seni digital, Nicole Sales Giles, hal tersebut memungkinkan karena mereka melihat penggunaan AI sebagai evolusi yang tak bisa dielakkan dan selama sejarahnya (terutama terkait hak cipta) sudah banyak seniman yang mengambil inspirasi dari karya seniman lainnya.
Isu hak cipta yang pasti juga jadi perdebatan dalam karya seni AI karena algoritma program yang cenderung mencomot dari beragam informasi dan imaji yang berada di dunia maya. Namun dua karya AI Art dari Augmented Intelligence Christie’s menampik soal keraguan otentisitas karya.
“Machine Hallucinations – ISS Dreams” karya Refik Anadol mengatakan ia hanya memakai foto-foto yang tersedia secara publik dari International Space Station; sementara “Emerging Face” karya Pindar Van Arman menyajikan kolase lukisan yang dibuat oleh dua agen AI: satu mencoba untuk menghasilkan gambar wajah, sementara agen kedua menghentikan proses tersebut ketika hampir timbul imaji sebuah wajah. Hasilnya? Hauntingly captivating.
Lantas, apakah itu seni?
Lagi-lagi itu adalah pertanyaan sentral dalam perdebatan tentang kelayakan seni hasil kecerdasan buatan ketika disandingkan dengan seni karya tangan manusia langsung. Tak dimungkiri memang ada sesuatu yang “hilang” dalam AI-generated art. Memang indah dan tetap menimbulkan rasa, tetapi terlalu “bersih”.
Walau begitu, dunia seni (sama seperti bidang lainnya) pastinya tak akan luput oleh inovasi. Serupa dengan pergantian aliran seni yang merupakan penyesuaian (atau cerminan) dari perubahan masyarakat dan gaya hidup pada masanya, maka seni AI bisa dipandang sebagai satu lagi perubahan teranyar dalam dunia seni.
Sekarang pertanyaan lanjutannya adalah, apakah kita siap untuk menyambutnya atau tidak?