Percakapan yang berawal dari cerita tentang perjalanan mengoleksi karya seni di tahun 2016, menjelma menjadi sebuah buku bertajuk The Jakarta Salon: The Patronage of the Papadimitrious — Shaping Modern Art in Indonesia. Buku ini menceritakan kisah panjang Alex Papadimitriou dan istrinya Caecilia Papadimitriou yang berperan penting dalam perkembangan seni rupa Indonesia.
“Saya bertemu Caecilia untuk kedua kalinya di sebuah art fair pada tahun 2016. Setelah itu saya dan beberapa kolega mengunjungi rumah Alex dan Caecil. Saat itu saya menyadari betapa pentingnya koleksi dan betapa menariknya cerita mereka. Saya pun memberitahukan ke Ibu Caecil bahwa ia harus merekam koleksi dan kisahnya itu dalam sebuah buku,” kenang Rishika Assomull, sang penulis buku sekaligus Senior Director di Galeri Villepin, Hong Kong.
Di saat itu, Caecil seraya menantang Rishika yang masih berusia 25 tahun, “Why don’t you write it?” Perjalanan mereka merangkai buku ini lalu dimulai. Setelah selama 9 tahun menggali arsip keluarga dan melakukan wawancara dengan berbagai tokoh, buku The Jakarta Salon pun diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada pertengahan tahun 2025.
Siapa Alex Papadimitriou?
Alex Papadimitriou merupakan anak tunggal dari Gretchen Fisher yang keturunan Jepang-Jerman dan Dimitri Papadimitriou asal Yunani. Ia sendiri lahir di Pulau Rimau, Sumatra Selatan pada tahun 1924 dan tumbuh besar dalam asuhan kakek, nenek, dan ibunya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, ia pergi ke Yunani untuk bertemu dengan ayahnya. Di sana ia bertemu dengan kakeknya yang ternyata adalah seorang kolektor benda seni. Kecintaan Alex terhadap benda seni pun dimulai dan berkembang sejak itu.
Pada saat Alex sedang bekerja di Konsul Kehormatan Republik Indonesia di São Paulo, Brasil, di tahun 1953 terdapat perhelatan São Paulo Biennial yang kedua. Alex diminta untuk memilih seniman dan karya dari Indonesia. Ia membawa 47 lukisan dari 27 seniman termasuk Affandi, Kusnadi, dan Solihin. Banyak yang menganggap bahwa ini adalah momen penting dalam perjalanan artistik Affandi di kancah seni internasional.
Lewat acara ini, Alex mulai menjalin hubungan dengan seniman-seniman Indonesia yang terus berlanjut hingga ia kembali menetap dan bekerja di Indonesia.
Patron Seni Indonesia
Di Jakarta, rumah yang ditinggali Alex, Caecil, dan kelima anak lelaki mereka Dimitri, Andreas, Constantin, Georgius, dan Panagiotis Papadimitriou, kerap dikunjungi oleh seniman-seniman. Tidak jarang, Alex dan Caecil menggelar acara kumpul-kumpul di rumah mereka untuk menunjukkan karya-karya seniman kepada rekan-rekan mereka, dealer, dan kolektor seni.
Ini jugalah yang melahirkan julukan The Jakarta Salon bagi rumah mereka. Istilah “salon” merujuk pada istilah yang marak digunakan di Prancis di abad ke-16 sampai 19. Salon merupakan ruang atau forum yang intim untuk berdiskusi dan menciptakan karya seni. Tuan rumah salon tersebut aktif sebagai teman dekat dan pendukung seniman-seniman.
Tidak berhenti sampai di situ, dukungan Alex bertambah besar ketika ia rutin menggelar Chase Manhattan Art Program. Pameran ini bertujuan untuk menampilkan karya-karya para seniman kepada audiens yang lebih luas, sekaligus melahirkan kolektor-kolektor seni di Indonesia.
Semua rekam jejak koleksi Alex dan Caecil, karya-karya koleksi mereka, serta karya komisi seniman, semuanya dirangkum dengan apik di dalam buku The Jakarta Salon. Cerita yang tertuang di dalam buku ini terasa begitu intim karena Rishika bekerja berdampingan dengan Caecil Papadimitriou hingga akhir hayatnya di tahun 2022.
Kalau begitu, kenapa buku ini baru terbit di tahun 2025? Siapa yang mendampingi Rishika setelah Caecil meninggal dunia?
“Saya bekerja dengan Kiki (Constantin Papadimitriou) dan Nia (Dinata) sejak Ibu Caecil meninggal. Pada tahun 2023 saya pikir buku tersebut sudah rampung. Namun ternyata mereka menemukan arsip yang dicari-cari oleh Ibu Caecil selama hidupnya, pada saat sedang membersihkan barang-barang peninggalannya,” ujar Rishika.
Ketika itu mereka menemukan buku tamu yang diisi oleh setiap tamu yang datang ke rumah mereka di Jalan Pasuruan, Menteng. Dan karena tamunya kebanyakan seniman, halaman buku tamu ini kerap berisi gambar-gambar dan bukan hanya nama. Selain itu ditemukan juga kumpulan surat yang ditulis oleh para seniman untuk Pak Alex.
Temuan ini bak harta karun yang memperkaya isi buku The Jakarta Salon. Rishika juga mendapat bantuan dari Maya Sujatmiko, salah seorang menantu dari Alex dan Caecil Papadimitriou yang juga merupakan pemilik Galeri Artsphere. Yang membuat buku ini lebih spesial, tulisan Rishika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh cucu Alex dan Caecil, alm. Ioannis Papadimitriou.
Dengan perjalanan hidup dan koleksinya yang fantastis, tentunya Rishika bukanlah orang pertama yang tertarik untuk merekam kisah Alex ke dalam sebuah buku. Menurutnya, buku ini merupakan kelanjutan dari gagasan pakar sejarah seni, Claire Holt (1901-1970) yang sempat melakukan wawancara dengan Alex Papadimitriou. Namun hasil wawancara tersebut belum sempat dibukukan.
Buku The Jakarta Salon dicetak pertama kali 1.000 eksemplar dan dibanderol dengan harga 1,5 juta rupiah per buku. Kamu dapat menemukan buku ini di toko buku Gramedia, beberapa toko buku internasional, dan toko buku independen di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Pameran Karya Koleksi Alex Papadimitriou
Melengkapi peluncuran buku The Jakarta Salon, digelar sebuah pameran spesial di Jogja National Museum yang bertepatan dengan ArtJog 2025. Pameran ini dikuratori oleh Suwarno Wisetrotomo dan mengusung tema “Ziarah”. Pameran ini menampilkan karya-karya para maestro seni rupa Indonesia yang menjadi bagian dari koleksi seni ekstensif keluarga Papadimitriou.