Penjiplakan yang melanggar hak cipta. Ini adalah definisi singkat dari kata “plagiarisme” yang bisa ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring. Lalu, bagaimana dengan karya desain yang belum terdaftar dalam Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)?
Beberapa waktu lalu media sosial kami sempat ramai dengan kasus plagiarisme. Meski mungkin masalah ini nggak terdengar di lintas industri atau YTTA (yang tau tau aja), tapi ini perlu ditanggapi dengan cukup serius. Salah satu karya seorang desainer produk, Hendro Hadinata untuk label Every, ditiru oleh sebuah manufaktur furnitur. Tidak hanya ditiru untuk satu proyek, kursi ini diproduksi dalam jumlah banyak dan sempat ditampilkan di showroom manufaktur tersebut.
Kasus ini tentunya bukan yang pertama kita dengar. Banyak kasus serupa terjadi di berbagai industri. Untuk mencari tahu soal plagiarisme dalam dunia desain produk, kami menghubungi ADPII (Aliansi Desainer Produk Industri Indonesia) sebagai sebuah aliansi yang menaungi ratusan desainer produk.
Simak hasil obrolan kami dengan Raditya Ardianto Taepoer, Sekjen ADPII berikut
Written: Apa sebenarnya yang dimaksud dengan plagiarisme dalam konteks desain produk?
Raditya A. Taepoer (RT): Sebenarnya plagiarisme sendiri dalam desain industrial adalah tindakan mengambil, meniru, mengadopsi karya desain orang lain, tanpa izin atau atribut apapun. Kemudian diklaim menjadi karya sendiri padahal itu karya orang lain.
Dalam desain, perlu diperhatikan plagiarisme tidak hanya mencakup bentuk. Konteks penggunaan, narasi, inovasi itu juga termasuk bagian dari plagiarisme. HAKI diciptakan bukan hanya visual saja.
Ngobrol tentang desain industri, yang susah adalah kalau penegakan hanya dilakukan dari Kemenkum (Kementerian Hukum) atau Polri saja. Harus ada dukungan dari keilmuan atau disiplin itu sendiri. Alasannya, orang yang menentukan atau asesor pemberian HAKI itu carinya via browsing.
Foto: Dok. ligneroset.com
Written: Berarti harus mendaftar HAKI?
RT: Betul. Konteks formalnya harus dengan HAKI, tapi banyak juga desainer yang nggak mendaftarkan produknya. Karena dengan mendaftarkan HAKI nggak ada jaminan bahwa produk nggak akan ditiru.
Sebenarnya seorang desainer bisa juga memiliki katalog. Ada rekaman tanggal yang jelas, publikasi, dan lain sebagainya.
Written: Apakah ADPII punya program pendampingan bagi desainer untuk mendaftar HAKI?
RT: Pendampingan secara langsung belum ada. Namun kita mulai dari program studi sejak kuliah. Di kampus-kampus ada mata kuliah Etika Profesi yang didukung dan diisi oleh ADPII.
Written: Kenapa isu plagiarisme penting untuk kita bicarakan, terutama di kalangan desainer dan pelaku industri kreatif di Indonesia?
RT: Sejak membuat produk dari sekolah kita selalu ditanya apa kebaruannya dari produk yang sudah tersedia di pasar. Kebaruan artinya nggak meng-copy. Orisinalitas menjadi inti proses kreatif. Ketika plagiarisme dibiarkan terjadi, pemilik karya atau desainer juga jadi terhambat. Ngapain bikin sesuatu yang baru dan inovatif, udah capek-capek, sementara para penjiplak tinggal ambil begitu saja.
Secara makro, jadinya ketika di kampus kita dituntut dengan orisinalitas dan kebaruan, tapi di industri jadi terhambat pertumbuhannya. Padahal, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia punya potensi besar. Material kita sangat unik.
Kayu, bambu, rotan, semuanya punya. Material alternatif seperti pelepah pinang, kotoran sapi, dan lainnya juga kita punya. Material banyak, sekolah desain bagus dan berkembang. Iklim kita sudah bagus tapi kesadaran kolektif terhadap pelaku industri masih jauh untuk menemukan budaya desain yang sehat.
Written: Apakah ada kecenderungan tertentu—misalnya dari jenis produk, sektor industri, atau pelaku—yang lebih rawan mengalami plagiarisme?
RT: Sejauh ini paling rawan itu furnitur, craft, dan alas kaki. Tiga ini paling rawan karena siklusnya sangat cepat. Misalnya kita punya trade fair untuk furnitur dan craft. Sepatu juga lebih cepat viral lewat media sosial. Siklus cepat ini artinya ditirunya cepat tapi perputarannya juga cepat.
Praktiknya biasanya dilakukan oleh pelaku industri baru. Dia nggak punya r&d (research and development) internal, hanya ada product development tapi nggak punya desainer atau model maker. Akhirnya beli sepatu merek A, dibongkar, lalu ditiru.
Ini juga yang jadi masalah berlapis. Namanya desain produk industri, tapi industri nggak punya r&d atau ada r&d tapi nggak punya desainer. Rata-rata hal ini terjadi di UMKM karena belum punya kesadaran itu, dan memang sejauh ini belum ada penindakan tegas untuk kasus plagiarisme.
Foto: Dok. knoll-int.com
Written: Menurut Anda, apa saja dampak dari plagiarisme terhadap seorang desainer, baik secara pribadi maupun profesional?
RT: Hal paling mendasar dari plagiarisme itu adalah masalah etika, moral, dan motivasi sang desainer. Misalnya dia udah kerja keras, eksplorasi banyak hal, refleksi karya, dan lain-lain, lalu direduksi dan dicuri sama orang. Ya secara profesional, reputasinya terdampak. Buat desainer baru, peluang kerja dan kolaborasi bisa hilang.
Dampaknya nggak hanya personal tapi juga sistemis. Pada akhirnya membuat ekosistem ini belum sehat dan adil. Di sisi lain, konsumen juga banyak yang nggak apa-apa pakai produk tiruan.
Jadi, desainernya, pemerintahnya, produsennya, konsumennya. Memang masalahnya holistik. Secara global nama kita (Indonesia) juga terpengaruh. Karena plagiarisme yang terjadi di sini kadang-kadang meniru brand internasional juga.
Written: Sama seperti satu pasar di area Kebayoran Baru yang menjual sepatu tiruan semua ya, mas?
RT: Hahaha iya salah satunya itu.
Written: Apakah desain produk dapat dilindungi secara hukum? Bagaimana caranya jika seorang desainer ingin mematenkan desain/karyanya?
RT: Pendaftaran HAKI sebenarnya cukup mudah, bisa dilakukan secara online dan step by step-nya sangat jelas. Sebuah produk bisa terdaftar selama 10 tahun. Namun kadang untuk sertifikatnya butuh waktu. Industri elektronik sudah paling familier dengan siklusnya. Mereka tahu harus daftar kapan sebelum launching produk.
Perlindungan hukum sendiri sudah ada dengan sertifikat. Namun yang jadi masalah adalah penindakan hukumnya yang belum ada. Awal tahun 2025 kita (ADPII) sudah tandatangan MOU dengan DJKI – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Kami lagi coba urus jika perlindungan hukum sudah ada, penindakannya harus bagaimana.
Kami juga kepikiran punya model seperti LBH untuk kasus-kasus ini. Ada peluang ke arah sana tapi masih dalam tahap perencanaan.
Written: Apakah ADPII memiliki pedoman etik atau kode etik khusus terkait orisinalitas desain?
RT: Saat ini belum ada pedoman yang fixed. Kita (ADPII) selalu bergerak di kongres. Amanat kongresnya apa, dan kita wajib melakukan itu selama 3 tahun. Kode etik belum ada di program prioritas kita saat ini. Namun saat ini program prioritas sudah selesai sekitar 70%. Nanti kalau program prioritas sudah selesai, kita akan coba kejar pedoman etik.
Kita lagi urus yang lebih mendasar, soal SKKNI – Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Bahwa profesi ini legit, terdaftar di Kemnaker. Jadi nanti di KTP bisa terdaftar pekerjaannya adalah desainer produk.
Setelah ini, kita harapkan bisa kejar soal plagiarisme. Saat ini kita baru sampai tahap Kemenekraf dan DJKI, belum ada sampai penindakan.
Foto: © Verner Panton Design AG – vitra.com
Written: Di era digital, desain sangat mudah tersebar dan disalin. Bagaimana sebaiknya desainer menyikapi tantangan ini?
RT: Mungkin desainer harus lebih proaktif dalam dokumentasi proses desain. Proses kerja jelas dan terdokumentasi dengan baik, dan mendaftar HAKI. Di situ aja dulu. Kalaupun ada yang meragukan hasil kreasi kita, bisa kita buktikan dengan dokumentasi tadi. Bisa terlihat hasil akhir ini diraih dari banyak proses dari awal. Ini jadi bukti bahwa memang ini adalah orisinal karya desainer tersebut.
Written: Menurut Anda, apa langkah kecil yang bisa mulai kita lakukan bersama untuk menciptakan budaya desain yang lebih etis dan orisinal di Indonesia?
RT: Menumbuhkan budaya punya etika dan moral, sehingga kita mau melakukan sesuatu. Jangan mulai dari pengin bikin produk yang seperti Alvin (Tjitrowirjo), misalnya. Terus belajar menggali perspektif dan keunikan diri sendiri.
Dari sisi konsumen atau pengguna juga sama. Misalnya: Ok, saya mau punya produknya si A tapi nggak mau tiruan. Gimana caranya kita bisa menghargai proses kreatif. Ini sebenarnya pengaruhnya dari dulu. Coba dulu kalau disuruh menggambar, gambar apa?
Written: Gunung dua buah lalu ada matahari di tengah…
RT: Ada sawah, jalan berkelok. Mungkin karena dari dulu memang kita ‘dipaksa’ menggambar stereotype yang sama. Mungkin rasanya kecil tapi pengaruhnya jadi besar.
Pelaku industri memang agak susah, tapi nggak apa-apa. China juga dulu mulai dari sana. Copy produk pasti ada di China. Namun kalau lihat hari ini, udah berkembang jauh. Mungkin memang start-nya meniru dulu, tapi lama-lama established, punya keunikan sendiri. Harapannya kita juga bisa sampai ke arah sana.
Kesadaran bersama jadi kunci untuk menciptakan ekosistem yang sehat. Kalau ekosistemnya sehat, daya saingnya jadi lebih bagus. Siapa tau yang dapat award dan jadi koleksi museum jadi lebih banyak.
Written: Ada juga istilah “kalau ditiru berarti bagus dong sebenarnya.” Ini bagaimana?
RT: Soal semakin ditiru semakin bagus, kalau mau sampai di tahap itu, si desainer harus bisa membangun personal branding yang kuat, rekam jejak yang kuat, portofolio di website, media sosial, media, dan pameran. Dengan begitu, orang bisa mengklaim ketika melihat produk tiruannya di mana pun. Orang bisa sebut “ini mah tiruan nih, aslinya punya si A B C.”
Fritz Hansen atau Eames yang sudah terkenal begitu aja, orang masih banyak yang nggak tahu karyanya dan masih membeli tiruannya. Apalagi di Indonesia. Desainer kita masih struggling. Brand yang jadi koleksi museum pun kondisi aslinya juga masih struggling.
Kalau mau iklim (desain) nya bagus, inovasinya juga harus baik. Aliansi juga harus solid dan kuat. Sehingga ketika plagiarisme terjadi banyak yang menekan sehingga brand itu stop produksi. Itu juga sebuah keberhasilan. Desainer aslinya juga bisa jadi lebih terkenal.
Pemerintah juga viral based policy. Kalau viral baru ditindak. Mungkin itu juga jalannya.
Foto: Dok. arnejacobsen.com – Stjernegaard Fotografi
Written: Apa pesan atau harapan Anda untuk para desainer muda dan mahasiswa terkait isu plagiarisme ini?
RT: Mahasiswa desain produk sudah punya mata kuliah Etika Profesi, berarti sudah punya standar etika dan moral yang sama. Pelajari betul mata kuliah tersebut, coba belajar, coba gali kira-kira saya ini mau jadi desainer seperti apa, gaya desainnya seperti apa, tidak perlu meniru orang lain.
Kalau punya sumber inspirasi disebut aja dengan jujur. Terus menggali dan belajar dari praktik keseharian desainer yang menjadi inspirasi. Ketika seorang desainer konsisten, akan menjadi dampak baik bagi diri sendiri dan orang lain. Misalnya jadi dapat award, banyak klien, berkarya untuk brand internasional.
Desainer di Indonesia butuh keteguhan hati.