Pop Art merupakan sebutan yang bisa ditelusuri sejarahnya dari tahun 50an ketika budaya instan konsumerisme perlahan jadi bagian dari gaya hidup paska perang.
Sesuai dengan definisi namanya—popular—berbagai karya pop art merupakan upaya para seniman di aliran ini untuk menemukan keindahan, mencari makna, atau mengkritisi gaya hidup populer yang tengah terjadi di Amerika dan Eropa. Pada saat itu Amerika dan Eropa tengah dipopulasi oleh komoditas modern yang diproduksi massal.
Kelahiran pop art sendiri bermuara di dua tempat: London dan New York. Pada tahun 1952, beberapa seniman yang berbasis di London seperti Eduardo Paolozzi, Richard Hamilton, serta arsitek Alison Smithson, membentuk perkumpulan bernama Independent Group.
Grup ini menjadi semacam think tank, dengan fokus utama membahas peran popular culture, terutama yang keluar dari Amerika, dalam konteks seni. Mayoritas suara cenderung kritis, tetapi mereka menemukan potensi tema untuk digali dari teknologi modern serta subgenre seperti science fiction, komik, dan musik rock n’ roll.
Sementara di New York pada kurun waktu yang sama, beberapa seniman yang sebelumnya menganut aliran seni Neo-Dada mulai menggabungkan elemen-elemen pop culture dalam karya seni mereka.
Neo-Dada sendiri merupakan aliran seni yang melibatkan objek familier dalam karya seni tradisional seperti lukisan. Objek tersebut bisa berupa mobil, bendera, dan kliping foto dari majalah—objek yang lambat-laun mencakup produk massal dan simbol modernisasi yang kemudian identik dengan gaya pop art.
Ambil contoh kolase karya seniman Inggris Richard Hamilton bertajuk Just What Is It That Makes Today’s Homes so Different, So Appealing? (1956) yang menampilkan sebuah versi modern Adam dan Hawa di rumah mereka yang diisi oleh potongan-potongan iklan vacuum cleaner, daging kalengan, televisi, tape recorder, dan beberapa consumer goods lainnya.
Dalam sebuah wawancara mengenai karya seninya yang dipamerkan dalam ekshibisi This is Tomorrow ini, Hamilton menyampaikan keinginannya untuk “memasukkan segala perwakilan objek dan ide yang memenuhi kehidupan paska perang kami ke dalam ruang kecil.”
Dari sekian banyak pop artist, tentu nama Andy Warhol paling mencuat. Tak hanya karena karya-karyanya yang menampilkan selebriti populer pada masa itu seperti Marilyn Monroe, tapi juga karena sosok dan kehidupannya yang terkesan larger than life.
Namun justru karya sederhananya yang memperlihatkan Campbell Soup Can menjadi bagian integral dari kenaikan pamor pop art. Melalui oil painting tersebut, Warhol mencoba menunjukkan kesamaan antara karya seni dan produk seperti sup dalam kaleng. Mereka sama-sama komoditas yang bisa diperjual-belikan. Bahkan, ia merangkai tema ekshibisi yang pertama kali menampilkan lukisan Campbell Soup Can ini seperti sebuah rak supermarket.
Pop Art berjaya pada tahun 60an dengan sosok Andy Warhol secara tak resmi menjadi “wajah” aliran seni baru ini, meskipun ada banyak seniman pop art yang lumayan memengaruhi evolusinya seperti Roy Lichtenstein (yang banyak mengambil inspirasi dari komik), James Rosenquist (tenar berkat ukuran karya seni yang seukuran billboard), dan Claes Oldenburg (yang juga seniman instalasi).
Dan tak hanya di Inggris dan Amerika—negara lain pun kemudian ikutan mengadopsi gaya pop art. Seperti di Jerman yang disebut capitalist realists dan di Prancis gaya seni yang pop disebut noveau realism.
Satu trivia menarik di balik perjalanan pop art adalah kebanyakan senimannya sebelumnya telah bergelut dalam bidang consumer goods atau retail. Seperti Rosenquist yang merupakan desainer billboard dan Warhol yang pernah berprofesi sebagai desainer ilustrasi majalah. Maka tak heran bila pilihan karya mereka cenderung lebih pop.
Meskipun pop art sempat turun pamor mulai tahun 70an lantaran minat karya seni yang lebih performatif dan politis yang melibatkan instalasi dan elemen teatrikal lainnya, tapi minat terhadap karya pop art tak pernah surut.
Pada tahun 80an muncul pula aliran Neo-Pop yang dipelopori oleh seniman Amerika, Jeff Koons. Salah satu karya Koons yang paling terkenal adalah patung porselen Michael Jackson dan monyet peliharaannya, Bubbles.
Saat ini, aliran seni pop art tetap berjaya—dan semakin mendunia—berkat karya-karya seniman kontemporer seperti Ketna Patel asal India, Yayoi Kusama asal Jepang, Jange Rae, dan Hendra “Hehe” Harsono asal Indonesia, dan bahkan sang seniman misterius Banksy pun bisa dianggap sebagai pop artist karena menggunakan elemen pop culture dalam beberapa karyanya.