Sejak dahulu kala para seniman telah berupaya untuk menggambarkan keindahan alam. Baik itu dalam gaya still life hingga impresionis seperti lukisan-lukisan Van Gogh. Namun selain itu, mereka juga mencoba untuk menyodorkan kenyataan—terutama yang terkait dengan perubahan alam.
Perubahan iklim. Topik yang kini kian mengusik nurani para seniman yang kemudian menumpahkan perspektif mereka dalam wujud karya seni. Semisal John Holcroft, ilustrator digital asal Inggris yang telah menciptakan beberapa ilustrasi menyentil mengenai perubahan alam.
Gaya Holfcroft cukup straightforward dan populis, yang membuatnya mudah dicerna oleh masyarakat luas. Satu ilustrasi Holfcroft berjudul “Hand Me Down” sangat menggugah dalam kesederhanaannya.
Karya ilustrator asal Singapura, Kuanth, belakangan mulai dilirik oleh pencinta seni. Rangkaian karya Kuanth banyak berpusat pada alam—objek yang kian mewarnai kreativitas selama pandemi ketika alam meregenerasi dalam absensi manusia.
Koleksi New World jadi interpretasi Kuanth akan lanskap dunia baru paska pandemi. “What kind of a world were we living in? What does it show us during this pandemic? Levels of harmful gases like carbon dioxide have dropped so much that air quality in many cities improved significantly. The Earth does not need humans who created all those chaos.”
Dan seni juga bisa interaktif. Seperti yang dimulai oleh pemahat Sara Black dan Amber Ginsburg: pada 2016, dua seniman asal Chicago ini mengajak peserta workshop mereka untuk menulis atau menggambar tentang perubahan alam menggunakan 7.000 pensil yang terbuat dari pohon oak. Pohon tersebut mati karena infeksi jamur dan karena efek climate change, yang memicu kekeringan dan badai ekstrem, membuat pohon lebih rentan terkena penyakit.
Produk pensil dalam karya mereka yang diberi judul 7000 Marks merupakan salah satu contoh bagaimana seni, meski seberapa menggugahnya, tak mesti hanya bisa dipandang tapi juga partisipatif dan konkret.
“We need to to have really multiple ways of engaging the question through words, through images, through art,” ungkap Ginsburg dalam situs. “They all work together: the news, the scientists, and the artists. It’s really like a slow-moving shift. We need all to be working together, because it’s hard to change behavior.”
Selain inspirasi dari alam, seniman lain juga menarik gagasan kreatif dari sosok aktivis lingkungan. Seperti Jack Coulter yang menciptakan homage bagi aktivis muda Greta Thunberg.
Pelukis asal Irlandia tersebut memiliki kondisi unik bernama synesthesia di mana sebuah kata atau objek menimbulkan asosiasi warna, atau sebaliknya. Hasilnya adalah lukisan abstrak Future Generations dengan sapuan warna yang terinspirasi dari kata-kata Greta Thunberg.
Sementara seniman asal Filipina, Catherine Sarah Young, menyorot perilaku manusia yang berkontribusi kepada kondisi ekstrem yang terjadi di wilayah urban. Young, yang kini berbasis di Australia, menciptakan koleksi sabun The Sewer Soaperie terbuat dari endapan minyak goreng yang dibuang ke saluran air oleh restoran dan rumah tangga.
Endapan tersebut mengakibatkan banjir di perkotaan paska topan Haiyan pada 2013 yang menurut Young merupakan dampak dari kombinasi perubahan iklim dan tabiat manusia yang mengacuhkan alam.