Sots Art: Ketika Narasi Sejarah Bersuara Lewat Kanvas

Handy Nursatyo

Di ujung abad ke-20, dua seniman diaspora Rusia berdiri di tengah pusaran sejarah dan absurditas. Vitaly Komar dan Alexander Melamid tidak hanya melukis. Mereka mengiris sejarah. Mereka membuka ruang yang telah lama disegel oleh propaganda dan diam kolektif.

Dari celah itu, mengalir ingatan yang membeku menjadi simbol, metafora, dan satir visual. Dalam seri lukisan bertajuk Nostalgic Socialist Realism, kisah Konferensi Yalta, peristiwa geopolitik besar di penghujung Perang Dunia II, dihidupkan kembali bukan dengan dokumentasi kaku, melainkan dalam kanvas-kanvas yang nyaring, pedih, dan jenaka.

Ketika Estetika Bertemu Ideologi

Seni, dalam tangan Vitaly Komar dan Alexander Melamid, menjadi lebih dari sekadar bentuk. Ia menjelma menjadi kritik, menjadi sejarah alternatif, menjadi tafsir yang menolak tunduk pada versi resmi. Gerakan yang mereka pelopori, Sots Art, muncul sebagai bentuk pembangkangan terhadap realisme sosialis yang kaku dan hegemonik. Jika seni propaganda Soviet dirancang untuk menenangkan dan meyakinkan, maka lukisan mereka justru menimbulkan kegelisahan dan keraguan.

Tiga karya monumental yang menjadi pusat artikel ini bukan hanya lukisan sejarah. Mereka adalah mosaik dari trauma kolektif, satire politik, dan pencarian identitas. Ketiganya lahir dari foto legendaris Konferensi Yalta, namun kemudian dipelintir dengan imajinasi dan kritik, menciptakan distorsi yang justru membawa kita lebih dekat pada esensi realitas itu sendiri.

Fragile Unity with E.T

Dalam lukisan pertama, dunia sejarah mengalami disorientasi. Roosevelt bukan lagi tokoh negara, melainkan makhluk asing berkepala E.T., sosok sinematik dari film Steven Spielberg yang pada 1980-an menjadi lambang keasingan dan ketulusan. Figur ini hadir di antara Stalin dan secara tak terduga, Adolf Hitler, yang mengintip dari balik tenda merah dengan jari di bibir, meminta diam, mengingatkan kita akan kebisuan yang disisipkan dalam sejarah resmi.

Warna hitam yang menelan latar belakang menciptakan atmosfer muram, luka yang belum sembuh dari Perang Dunia. Merah yang membalut tenda adalah warna darah dan ideologi, warna keseriusan, kepercayaan, dan mungkin juga tipuan. Dalam semiotika Barthes, lukisan ini kaya akan konotasi. Ia adalah tanda-tanda yang melampaui bentuk, menyimpan makna-makna yang hanya dapat dibuka melalui pengalaman dan refleksi.

Namun di balik semua ini, sesungguhnya lukisan ini adalah potret diri sang seniman. Komar, yang tumbuh sebagai Yahudi di Rusia, memandang Roosevelt sebagai “yang asing” dan dengan demikian, ia pun melukiskan alien sebagai cermin dirinya sendiri: selalu berada di pinggiran, terasing oleh identitas. Dalam wajah E.T., ia memproyeksikan keterasingannya sendiri dari sejarah resmi Soviet.

A Game of Spheres

Lukisan kedua hadir sebagai metafora permainan kekuasaan. Di tengah komposisi, ruang kosong membelah kanvas, dipenuhi bola-bola kecil berwarna putih dan hijau sebagai simbol netralitas dan damai menurut teori warna Goethe. Roosevelt dan Stalin berdiskusi, menunjuk dan memilih bola. Hitler, di sisi berlawanan, menanti dalam diam, sementara Churchill, dengan kain biru muda yang tenang, menutupi sebagian adegan.

Apa yang sedang dipilih? Apa yang sedang disembunyikan?

Dalam tafsir semiotika Peirce, bola-bola ini adalah representamen, tanda-tanda dari keputusan-keputusan yang tidak pernah diumumkan secara gamblang. Mereka adalah simbol diplomasi yang mengalir dalam kabut niat dan ilusi. Kain merah pada tokoh utama melambangkan keseriusan, tetapi juga penipuan emosional. Sedangkan biru yang dikibarkan Churchill adalah kedamaian palsu, penutup bagi realitas yang lebih gelap.

Komar dan Melamid tidak menuduh secara langsung. Mereka bermain-main, menyindir, namun tidak menghapus kemegahan peristiwa itu. Dalam bahasa visual, mereka bertanya: siapa yang benar-benar membuat keputusan? Dan atas nama siapa?

Divine Observers

Jika dua lukisan sebelumnya adalah alegori, maka lukisan ketiga adalah altar. Dengan gaya yang lebih realistis, ia menghadirkan kembali susunan tiga pemimpin dunia sesuai dengan foto asli: Churchill di kiri, Roosevelt di tengah, Stalin di kanan. Tapi sesuatu yang lebih besar membayang di latar.

Patung George Washington dan Vladimir Lenin berdiri kokoh di kedua sisi, dua kutub ideologi yang membelah dunia. Dan di tengahnya, menjulang sosok Yesus Kristus dengan tangan terbuka, mengawasi, atau memberkati, atau mungkin hanya menyaksikan dalam diam. Ia mengenakan kain merah: warna pengorbanan, kepercayaan, dan kekuasaan yang tak terlihat.

Asap abu-abu di latar melambangkan arwah-arwah perang yang belum pergi. Warna hitam tetap menjadi bingkai emosi: depresi, kekuatan, dan ketakutan. Dalam simbol-simbol ini, kita melihat bukan hanya para pemimpin, tapi juga fondasi spiritual dan politik yang menopang mereka. Washington dan Lenin, meski mati, tetap hidup dalam ide. Dan Kristus, bagi mayoritas umat dari ketiga negara, tetap menjadi titik rujuk moral, atau alat legitimasi spiritual.

Lukisan ini adalah monumen. Ia mematri ide bahwa sejarah besar tak hanya digerakkan oleh manusia, tetapi juga oleh kehendak-kehendak tak terlihat: ideologi, iman, dan mitos.

Antara Nostalgia dan Satire

Seri Nostalgic Socialist Realism adalah upaya melawan narasi tunggal. Di dalamnya, nostalgia bukanlah kerinduan, melainkan medan kritis untuk menguak luka. Komar dan Melamid mempermainkan elemen dadaisme, menolak estetika konvensional demi menyampaikan sesuatu yang lebih dalam, bahwa sejarah adalah permainan tanda, dan kita adalah pembacanya yang terlambat.

Melalui tiga kanvas ini, Konferensi Yalta dibingkai ulang sebagai drama universal: tentang kekuasaan, keterasingan, kebenaran yang disensor, dan iman yang menjadi pelindung atau dalih. Komar dan Melamid, dengan segala kegetiran dan keberaniannya, mengundang kita untuk menatap sejarah bukan dari podium, tapi dari dalam ruang-ruang tersembunyi yang mereka buka melalui seni.

SHARE :
WhatsApp
Facebook
Twitter
Email
Artikel Lainnya