Untuk Paolo De Simone, kemewahan sejati tak perlu digemakan—ia hadir lewat pengalaman. Sebagai Creative Director Wimberly Interiors di studio Singapura, ia menukar gemerlap usang dengan sesuatu yang jauh lebih mendalam: kesejahteraan holistik dan rasa keterhubungan yang autentik dengan sebuah tempat. Etos desainnya—perpaduan langka antara presisi Italia dan pengalaman panjang lebih dari satu dekade di Asia—menjawab pencarian akan keaslian.
Sebagai seorang WELL Accredited Professional, ia mengintegrasikan prinsip restoratif biophilia ke dalam interior yang ia rancang, menciptakan ruang yang aktif menumbuhkan kenyamanan bagi penghuninya. Setiap proyek menjadi dialog naratif yang cermat dengan budaya dan sejarah lokal, memastikan bahwa setiap lingkungan tidak hanya memberikan ketenangan bagi individu, tetapi juga beresonansi kuat dengan konteks sekitarnya.
Hasilnya adalah wajah baru hospitalitas: ruang yang tidak sekadar menjamu—tetapi merawat, menginspirasi, dan menghubungkan.
Baru saja tampil di panggung FIND Global Summit 2025 dengan presentasi tentang evolusi narasi brand dalam hospitalitas, kami berbincang lebih jauh dengan Paolo De Simone mengenai filosofi desainnya dan arah masa depan desain perhotelan.
Tentang Filosofi & Proses Desain
Written (W): Bisa ceritakan sedikit tentang perjalanan Anda sebagai desainer?
Paolo De Simone (PS): Tentu. Perjalanan saya dimulai di Italia. Saya pertama-tama bekerja sebagai arsitek. Saya belajar arsitektur di Florence. Jadi latar belakang saya adalah arsitektur, lalu saya beralih ke ruang interior. Saya menempuh master di bidang desain interior di Milan. Dari sana saya mulai lebih memperhatikan detail tentang apa itu ruang, dan apa hal-hal yang membuat orang bahagia.
Saya mulai bepergian dan bekerja di berbagai tempat: Spanyol, Asia Tenggara, hingga Asia secara lebih luas. Lalu saya tiba di Singapura untuk bergabung dengan sebuah perusahaan yang mengerjakan hunian high-end dan hospitalitas. Saya sangat tertarik pada hospitalitas ketika mengerjakan proyek hotel di Maladewa dan Nigeria. Saat itu saya bertanya pada diri sendiri, siapa yang terbaik dalam hal desain hospitalitas di Singapura? Nama WATG dan Wimberly Interiors mencuat sebagai yang terbaik di dunia. Maka saya pun bertekad untuk bergabung.
W: Sebagai arsitek, Anda terbiasa berpikir dalam skala besar. Sementara interior berfokus pada detail kecil. Apakah itu menjadi tantangan?
PS: Saya rasa penting bagi saya memiliki fondasi arsitektur. Karena itu membuat saya memahami koneksi interior–eksterior dan kemungkinan membangun interior berdasarkan pengalaman yang ingin kita ciptakan. Itu juga memberi saya pemahaman dalam berkoordinasi—dengan MEP, struktur, arsitek, hingga desainer lanskap. Jadi, itu awal yang baik bagi saya.
Faktanya, ketika saya datang ke Singapura, saya direkrut oleh perusahaan lokal sebagai arsitek yang mengkhususkan diri pada interior. Bagi mereka agak aneh mendengar arsitek mengerjakan interior. Di Italia tidak ada perbedaan seperti itu: arsitek dituntut mampu merancang keseluruhan proyek, dari arsitektur hingga interior.
W: Anda menyebut spirit of place. Bagaimana Anda mulai membangun narasi proyek di konteks budaya baru? Bagaimana alur kerjanya?
PS: Saya rasa kuncinya adalah sensitivitas. Di situlah Anda mulai benar-benar memahami spirit of the place. Jiwanya.
Sangat penting untuk mengunjungi lokasi bahkan sebelum memulai. Saya beruntung karena terkadang kami bekerja bersama WATG, departemen arsitektur kami. Jadi kami mengerjakan proyek terintegrasi. Ketika mereka sudah terlibat sejak awal, kami punya kesempatan untuk melihat lokasi dari tahap paling awal. Biasanya interior datang belakangan dan tidak banyak kesempatan untuk mengubah hal-hal mendasar.
Untuk membangun narasi, penting memahami sejarah tempat, budaya masyarakat sekitar. Dengan begitu narasi Anda bisa terhubung dengan konteks, sehingga proyek tidak terasa asing. Dari situ kami mencari kerajinan atau elemen budaya spesifik yang bisa menginspirasi, lalu kami hadirkan melalui lensa baru dalam proyek.
W: Apakah latar belakang arsitektur membantu membangun konsep ruang?
PS: Sebagai arsitek, tentu penting melihat big picture-nya. Gambaran besar adalah hal mendasar. Desain bisa saja terlalu tenggelam dalam detail hingga melupakan bahwa pada dasarnya ia adalah sebuah bangunan. Bangunan yang terhubung ke luar ruang.
Bangunan itu bernapas. Kita harus memastikan interior tidak menghalangi hal itu. Koneksi dengan cahaya, elemen alam—itulah yang membuat bangunan berfungsi. Jadi interior bukan sekadar “ruangan di dalam,” tapi terintegrasi dengan keseluruhan arsitektur. Itu cara pandang saya sebagai arsitek.
W: Wellness dan biophilia ada di inti praktik Anda. Bagaimana mengintegrasikannya agar tak sekadar dekoratif?
PS: Saat pandemi, saya mendapat sertifikasi WELL-AP. Saya selalu berpikir bahwa well-being terkait dengan sesuatu yang melekat pada bangunan—panel surya, sistem air—tapi sebenarnya tidak hanya itu. Karena bangunan dihuni manusia, dan manusia merespons serta merasakan hal-hal tertentu di dalamnya.
Biophilia menarik karena sering disalahartikan. Banyak yang mengira cukup dengan green wall lalu menyebutnya biophilic design. Padahal yang penting adalah bagaimana orang merasa di ruang itu. Emosi apa yang lahir? Fungsi apa yang tercipta?
Jika sebuah green wall menggantikan sesuatu yang hilang—misalnya view yang tak menarik, atau lingkungan yang terlalu sibuk—maka ia bisa menghadirkan pengalaman serupa dengan lanskap alami. Bisa berupa karya seni lanskap, atau warna hijau yang menumbuhkan rasa yang sama. Jadi, biophilia bukan sekadar dekorasi, tapi cara menghadirkan emosi yang seharusnya ada. Itu berlaku untuk karya seni, tanaman, atau elemen lain.
W: Dalam hospitalitas mewah, bagaimana Anda menyeimbangkan timelessness dan tren?
PS: Yang membuat karya kami di Wimberly berbeda adalah kami tidak punya gaya tertentu. Kami selalu mulai dari kanvas kosong, mencipta untuk klien dan lokasi spesifik. Teknologi akan selalu hadir dalam desain. Tingkat penerapannya tergantung visi klien.
Contohnya, kini banyak hotel yang memungkinkan check-in/check-out tanpa staf. Bagi saya, timelessness adalah desain yang bertahan. Bukan mengikuti tren.
Saya tidak melihat teknologi sebagai tren. Teknologi adalah alat untuk memperkaya pengalaman. Timelessness hadir lewat narasi dan cerita yang kami bangun. Itu bukan aturan baku, melainkan hasil percakapan dengan klien tentang kemungkinan dan implikasi.
Proyek & Konteks Budaya
W: Proyek Wuxi MGallery Collection berakar pada kota bersejarah. Apa tantangan terbesarnya?
PS: Tantangan terbesar adalah tekanan bekerja di kota bersejarah. Narasi proyek terhubung dengan Tai Shi master, seorang penyair bernama Hua Cha, tokoh besar Dinasti Ming yang lahir di kota itu. Kami bekerja sama dengan akademisi setempat yang memberi banyak informasi tentang dirinya dan puisinya.
Kami menerjemahkan puisi-puisi itu dan membangun narasi proyek darinya. Kami menciptakan peta konsep dengan setiap ruang terhubung ke sebuah puisi. Misalnya, lobi hotel merujuk pada puisi tentang pondok di gunung dan pemandangannya. Maka karya seni setinggi dinding di lobi menggambarkan garis langit dan gunung.
Kamar tamu terinspirasi dari paviliun tamannya, yang ia gambarkan dengan 20 adegan berbeda. Kami menginterpretasikan adegan itu ke dalam elemen desain interior. Narasi puitis yang sangat indah kami rancang khusus untuk proyek ini.
W: Wow. Berapa lama pengerjaannya?
PS: Sekitar satu setengah tahun dari konsep hingga pengembangan desain dan konstruksi. Sangat cepat—biasanya proyek kami memakan waktu 4–5 tahun.
W: Sebaliknya, Banyan Tree Resort di Filipina berada di lanskap tropis. Bagaimana Anda menyesuaikan pendekatan desain antara situs bersejarah dengan resort dalam setting yang alami?
PS: Ya, seperti yang kamu tahu, brand Banyan Tree selalu berfokus pada well-being. Mereka memiliki signature spa yang menjadi elemen besar sekaligus daya tarik utama. Saat kami mulai mengerjakan proyek Banyan Tree, kami menemukan bahwa lokasinya luar biasa—terletak di antara dua gunung berapi, Gunung Pinatubo dan Gunung Arayat. Tempat itu sendiri merupakan kawasan tempat tinggal masyarakat Aetas.
Di situlah riset kami dilakukan secara mendalam, menggali keterhubungan dengan lokasi. Meski kita bisa saja menyebutnya sebagai lingkungan tropis atau setting resort, kami selalu ingin menemukan kaitan dengan sesuatu yang berasal dari tempat itu—bahkan hal-hal yang mungkin sudah lama menghilang. Karena itu, kami menghadirkan kembali kerajinan tangan, pola-pola yang dulu mereka gunakan misalnya pada busana tradisional, dan pola tersebut kami integrasikan ke dalam desain kamar.
Kami juga menjalin kolaborasi dengan komunitas lokal yang banyak mengerjakan karya kerajinan. Salah satunya, tikar anyaman indah yang kami tampilkan sebagai karya seni utama di vila tamu. Upaya kami adalah membawa esensi dari tempat itu—atau sesuatu yang pernah hilang dari sana—dan menghidupkannya kembali.
Contoh lain adalah proyek El Nido Resort di Filipina, di mana kami benar-benar membangun sebuah perjalanan melalui kerajinan tangan. Kami menganalisis seluruh suku yang pernah bermukim di kepulauan tersebut—beberapa di antaranya masih tinggal di sana hingga sekarang. Mereka pun terlibat langsung dalam pembuatan detail-detail kerajinan yang hadir di berbagai elemen interior resort.
W: Jadi semuanya berangkat dari pemahaman lokasi, budaya, dan konteksnya. Berapa lama proses risetnya?
PS: Sejak kami mulai terlibat dalam sebuah proyek, biasanya prosesnya berlangsung cukup cepat—saya bisa katakan hanya sekitar satu hingga dua bulan.
Saya beruntung memiliki tim kecil yang beranggotakan desainer-desainer berbakat. Dalam tim kami ada tujuh kebangsaan berbeda: dari Filipina, Indonesia, Thailand, Sri Lanka, hingga India. Jadi kami memiliki kesempatan untuk membawa pengetahuan dan perspektif dari masing-masing anggota tim, lalu menghubungkannya kembali ke proyek yang kami kerjakan.
Kami juga memiliki kantor di Shanghai, London, dan New York. Pertukaran pengetahuan di antara kami menjadi hal yang sangat penting. WATG sendiri sudah berdiri selama 80 tahun—salah satu perusahaan tertua yang berfokus pada proyek hospitalitas. Karena itu, kami memiliki pustaka pengetahuan yang sangat besar untuk dijadikan rujukan.
W: Proyek mana yang paling merepresentasikan filosofi desain Anda dan mengapa?
PS: Jika saya harus memilih, MGallery, Wuxi. Menurut saya, proyek itu benar-benar mewakili apa yang bisa disebut sebagai “resep” keberhasilan untuk sebuah proyek interior. Dimulai dari rangkaian narasi, rangkaian momen jeda, lalu kamu tiba di bangunan ini dan sejak awal sudah diselimuti suasana relaksasi—bahkan ketika melangkah ke area lobi, atmosfernya terasa sangat tenang.
Semua itu menciptakan rasa well-being. Wuxi hanya berjarak 45 menit dari Shanghai yang begitu sibuk, tapi di kota ini kamu menemukan ketenangan. Dan kami menghadirkan ketenangan itu ke dalam hotel. Tidak ada sesuatu yang terlalu energik atau dinamis; sebaliknya, segalanya dirancang untuk memancarkan kedamaian dan ketenteraman. Ada sebuah bukaan indah yang menghadap ke kota tua tepat di depan hotel. Dari situ, kamu bisa duduk dan mengamati apa yang terjadi di sekeliling.
Selain itu, desainnya sendiri dibangun di atas narasi yang menarik—seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, ini selalu menjadi fokus utama kami. Kami tidak menciptakan sesuatu yang sekadar sesuai ekspektasi. Kami ingin menghadirkan sesuatu yang berbeda dan baru. Namun, prinsip-prinsip dasarnya selalu ada di sana. Jadi, jika kamu bertanya proyek favorit saya sejauh ini, jawabannya adalah MGallery Wuxi.
Masa Depan Desain Hospitalitas
W: Definisi “luxury” terus bergeser. Bagaimana Anda melihatnya satu dekade ke depan?
PS: Di WATG, kami memiliki tim penasihat yang secara khusus meneliti berbagai tren dan memberikan kami seluruh data. Jadi kami cukup beruntung bisa memahami apa yang sedang terjadi di seluruh dunia. Saat ini, yang kami lihat adalah adanya pergeseran pada profil traveler mewah—mereka semakin muda.
Baru-baru ini kami mendiskusikan tentang adanya sebuah gerakan. Ketika saya menyebut “gerakan”, maksud saya adalah para traveler mewah generasi muda ini tidak lagi mencari sesuatu yang serba mengilap seperti sebelumnya. Mereka tidak lagi mengincar marmer-marmer indah. Sebaliknya, mereka menginginkan sesuatu yang menghadirkan rasa well-being terlebih dahulu—sesuatu yang bisa mereka bagikan di media sosial.
Menurut pengamatan saya, ruang-ruang dalam hotel kini harus mampu menghadirkan lebih dari sekadar kenyamanan. Mereka harus dapat melibatkan orang secara emosional. Harus selalu ada elemen kejutan di dalamnya.
W: Apa kekuatan paling besar yang akan membentuk desain hotel mewah ke depan: teknologi, sustainability, atau wellness?
PS: Saya rasa saat ini ada sebuah gagasan tentang wellness yang sangat penting. Menurut saya, ini akan selalu ada. Karena ketika orang tiba di sebuah hotel, mereka ingin merasa nyaman. Mereka mencari sesuatu yang bisa merevitalisasi diri mereka, bukan? Entah itu pengalaman mandi yang indah di kamar mereka, atau perawatan spa yang menenangkan di dalam hotel. Mereka akan selalu mencari sesuatu yang mampu membuat mereka merasa lebih baik.
Bagaimana cara kami menjamin hal itu dalam desain? Ambil contoh ruang tamu di kamar. Meskipun tidak terlalu luas, kami tetap menempatkan sofa yang nyaman di mana tamu bisa duduk, menikmati teh, menonton televisi, bekerja, atau membaca. Material juga memiliki peran penting. Sentuhan kain, bahkan aromanya, dapat membangkitkan nuansa yang berbeda.
Jadi ada banyak elemen yang masuk ketika kita berbicara tentang aspek wellness. Dan saya percaya, saat ini keberlanjutan (sustainability) bukan lagi pilihan—melainkan kewajiban. Kita perlu benar-benar memahami, saat merencanakan dalam proses desain, material mana yang akan bertahan lama, alih-alih sekadar memperhatikan sisi estetikanya. Yang jauh lebih penting adalah memahami apa implikasi dari penggunaan material tersebut. Apa yang kita berikan kembali kepada bumi, bukan hanya apa yang kita ambil darinya.
W: Apa nasihat Anda untuk desainer muda yang ingin berkarya di persimpangan budaya, wellness, dan hospitalitas?
PS: Saran saya adalah: jangan hanya berspesialisasi pada satu hal. Bukalah diri untuk mengeksplorasi berbagai bidang sekaligus. Sebagai seorang desainer, Anda punya kesempatan untuk melakukannya. Kenalkan diri Anda pada banyak tipologi yang ada. Tentu, hospitality merupakan sebuah niche yang besar, tetapi ada begitu banyak cara indah untuk mengekspresikan ide dan pemikiran Anda. Bisa lewat aspek budaya, bisa lewat wellness, atau lewat bagaimana orang merasakan sebuah ruang. Menurut saya, yang paling penting adalah memiliki kepekaan. Itu kata kuncinya.