Bulan Mei adalah Mental Awareness Month. Dan salah satu cara terbaik untuk menjaga kesehatan mental: Seni.
Apakah seni mampu memperbaiki kesehatan mental?
Bagi pelukis Edvard Munch, setidaknya seni dapat mengeksplorasi kondisi mentalnya. Pelukis simbolik asal Norwegia ini dikenal secara global berkat lukisannya yang paling iconic, The Scream (1893), yang hingga saat ini tetap dipandang paling relevan sebagai perwakilan luapan kepenatan jiwa.
Munch menjelaskan, “The study of the soul, that is to say the study of my own self.” Munch, yang memiliki warisan penyakit mental dari keluarga ayahnya, melukis The Scream ketika ia tengah jalan-jalan di sore hari dan mengamati langit berubah merah ia lantas seolah bisa mendengar “scream of nature.”
Jeritan itu kemungkinan berasal dari kepalanya sendiri, namun melalui medium seni ia bisa menggambarkan apa yang ia rasakan.
Tak dimungkiri fungsi seni sebagai pelampiasan dapat memberi wujud pada rasa: bahagia, sedih, cemas, marah, frustrasi. Rasa yang bagi beberapa orang sulit untuk diekspresikan – dan dieksplorasi karena berbagai alasan, seperti keterasingan yang kian terpicu saat pandemi silam yang membatasi pergerakan di luar hunian. Maka memiliki outlet atau medium di mana kita dapat menyalurkan rasa itu – pada kanvas, pada selembar kertas, melalui alat musik – jelas ideal bagi mereka yang mulai merasakan tekanan pada kesehatan mental.
Namun, di sisi lain, seni juga jadi cerminan akan pergolakan mental dan emosi sang pencipta seni. Seperti yang dialami oleh Munch (dan juga oleh seniman-seniman klasik lainnya seperti Picasso dan Monet): lukisan lainnya bertajuk “Despair” (1894) juga konsisten jadi cerminan akan kesehatan mental Munch pada saat ia melukis.
Yang jelas, selain jalur medis, seni bisa berkontribusi besar atas kesehatan mental. Berpatisipasi dalam seni memungkinkan orang untuk menghadapi kondisi mental yang tak sehat dan stres psikologis. Seni mampu menyembuhkannya melalui kreativitas dan sang seniman bisa mengekspresikan diri tanpa menggunakan kata-kata.
Beberapa manfaat lain seni bagi kesehatan mental adalah kemampuannya untuk melatih mindfulness yang berperan penting dalam membuat kita sadar dan waspada akan pikiran, rasa, dan situasi eksternal yang berpotensi mempengaruhi kesehatan mental. Mindfulness mengarahkan fokus kita pada bentuk, warna, tekstur, dan inspirasi akan karya seni yang hendak kita ciptakan.
Berkesinambungan dengan mindfulness, maka seni juga membuat praktisinya mampu memproses emosi yang tengah dirasakan – lalu menyalurkannya ke dalam bentuk karya seni. Beberapa studi telah membuktikan kalau mempraktekkan seni ampuh mengurangi stres berkat gerakan repetitif seperti melukis, menggambar, memahat, dan menulis.
Singkat kata, seni bisa jadi salah satu “tool” untuk memperbaiki kesehatan mental. Edvard Munch sendiri di usia senjanya mulai menunjukkan karya lukisan yang lebih optimis (meskipun ini juga dikarenakan ia berhenti minum alkohol dan ikut terapi). Kuncinya bagi Munch: keterbukaan dan kejujuran akan apa yang tengah dirasakan.
“I do not believe in the art which is not the compulsive result of Man’s urge to open his heart.“