Spedagi adalah akronim dari sepeda dan pagi; sebuah kegiatan olahraga yang ditekuni seorang Singgih Kartono, seniman asal Desa Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Dari olahraga sepedanya ini lantas bergulirlah rentetan pencerahan. Singgih terinspirasi oleh seorang pembuat sepeda bambu dari Amerika Serikat untuk merakit sepeda bambu versinya sendiri. Di sinilah nama spedagi diberikan pada karyanya.
Bahan bambu, khususnya bambu petung, yang memiliki struktur yang lebih kokoh dibanding bambu lainnya. Bambu petung mencuri perhatiannya karena keberadaannya yang melimpah di desa Kandangan.
Singgih Kartono Kembali ke Desa
Singgih Kartono kembali ke desa Kandangan sejak 1995 setelah penat dengan alur hidup kota besar. Dari situ, hadirlah ide revitalisasi desa sebagai pusat kreativitas. Ide ini ditujukan terutama bagi anak-anak muda yang sebelumnya merasa perlu hijrah ke kota besar untuk mengasah kreativitas mereka.
Pria kelahiran 1968 itu merasa daya tarik desa mesti ditonjolkan kembali. Apalagi soal semangat gotong royong dan potensi sumber daya alam setempat. Baginya, bila dimanfaatkan dengan baik kedua nilai ini mampu memajukan kesejahteraan desa dan warganya.
Desa-in Desa
Konsep Spedagi Movement akhirnya lahir pada 2013. Inilah proyek revitalisasi dan pelestarian desa melalui penyediaan sarana dan prasarana kreativitas anak-anak muda dan kecerdasan digital. Gerakan ini dibarengi dengan memaksimalkan potensi sumber daya alam yang digarap secara sustainable.
“Kreativitas Desa-in akan semakin tergoda, berlestari, dan melacak teknologi tradisional,” tuturnya di IG @spedagimovement. Dalam konteks Temanggung, sumber daya alam tersebut adalah bambu. Sebelumnya, hutan bambu kerap diabaikan bahkan jadi tempat pembuangan sampah oleh warga. Padahal, bambu berpotensi menggantikan kayu lantaran pertumbuhannya yang relatif cepat.
Proyek Spedagi Movement, yang melahirkan filosofi berupa cyral+spiriterial, terbukti sukses melahirkan Pasar Papringan yang diadakan sejak 2016. Suasana—dan lingkungan—Pasar Papringan (atau kebun bambu) ini sangat asri dan bersih. Pepohonan bambu pun jadi dekorasi alami yang memikat mata. Boleh dibilang pasar ini adalah semacam farmers market di mana warga menjajakan hasil kekayaan alam dan olahannya berbentuk kuliner yang dibuat tanpa pengawet atau pemanis buatan. Selaras dengan konsepnya, transaksi jual-beli lantas dilakukan dengan koin senilai dua ribu yang terbuat dari bambu. Keren, kan?
Desa Lestari dan karya-karya yang lahir di sana
Sementara itu, sepeda bambu karya Singgih sendiri telah melanglang-buana ke seluruh dunia. Sebanyak 85% produksi Spedagi untuk kebutuhan ekspor ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Eropa, Korea Selatan, dan Jepang. Di Jepang, Spedagi bahkan berhasil menyabet predikat Best Design Award.
Kalau tahun lalu kamu pernah ingat Presiden Jokowi naik sepeda bambu bareng Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, mengitari kota Bogor, yang mereka gowes itu adalah Spedagi. Produksi Spedagi sendiri telah menggerakkan roda perekonomian Temanggung serta menyerap tenaga kerja warga desa.
Walau begitu, Spedagi sebetulnya bukanlah buah karya perdana pria lulusan Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini. Produk pertamanya mungkin kamu pernah dengar: radio kayu Magno. Radio modern dengan tampilan old-school ini mendunia sejak pertama kali diluncurkan pada pada 2004. Kemudian pada tahun 2008 disematkan sebagai produk termewah oleh majalah Time. Lagi-lagi, jangan pernah remehkan kreativitas anak bangsa.
Selain itu, Singgih Kartono beserta Spedagi Movement juga aktif terlibat dalam berbagai workshop dan program seputar pelestarian potensi desa. Perogram ini bekerja sama dengan gerakan komunitas Kabupaten Lestari yang juga memiliki misi untuk memajukan desa dengan fokus pada pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab. Salah satu program workshop yang pernah mereka helat bertajuk “Gotong Royong Menuju Desa Lestari untuk Masa Depan Bahagia.”
Gerakan yang dicetuskan oleh Singgih ini memang sangat “lokal”. Tapi inilah wujud kearifan lokal yang dibarengi dengan wawasan global di tengah era digital telah menyebarkan aliran informasi ke segala sudut bumi, termasuk ke desa. Salah satu bukti konkretnya, yang jelas, terletak di Desa Kandangan di mana sang pemuda kreatif Singgih Kartono bermukim.