Arsitektur Kaca dan Bayangan Masa Depan: GAFA 2025

Arif Nurohman

Di tengah keriuhan pameran industri, ada sesuatu yang lebih sunyi namun bergetar: cara manusia terus bernegosiasi dengan masa depan. Di ICE BSD, Tangerang, ruang besar itu memantulkan cahaya dari panel-panel kaca, seolah mengingatkan kita bahwa masa depan arsitektur—dan mungkin juga cara kita hidup—semakin transparan.

Glasstech Asia dan Fenestration Asia (GAFA) 2025, pameran industri kaca dan fasad paling berpengaruh di Asia Tenggara, bukan hanya menjadi ajang pertemuan dagang. Di balik 200 merek dari sembilan negara, ada semacam upaya kolektif untuk memahami ulang bagaimana bangunan berinteraksi dengan manusia dan alam. Arsitektur kini bukan lagi soal keindahan bentuk, tapi juga soal keberlanjutan: bagaimana bangunan bisa bernafas bersama lingkungannya.

Kita hidup di era ketika kota tumbuh lebih cepat daripada kesadaran ekologisnya. Setiap menara baru yang berdiri, sering kali dibangun di atas kompromi: antara kebutuhan ekonomi dan tanggung jawab terhadap planet. Di sinilah GAFA menempatkan dirinya sebagai percakapan terbuka tentang bagaimana teknologi kaca, fasad hemat energi, dan desain berkelanjutan bisa menjadi jembatan, bukan sekadar etalase kemewahan.

Dalam pembukaan GAFA, Wakil Menteri Pekerjaan Umum, Diana Kusumastuti, menyebut pentingnya infrastruktur hijau dan efisiensi energi. Pernyataan yang terdengar teknokratis itu sebenarnya punya makna yang lebih puitis: bahwa masa depan kita tidak hanya dibangun dari beton dan baja, tapi dari niat baik untuk hidup lebih selaras.

Lebih dari 5.000 profesional akan melintas di antara paviliun internasional, dari Singapura hingga Italia yang membawa ide, mesin, dan harapan. Namun yang menarik, justru bukan pada megahnya pameran, melainkan pada atmosfer yang timbul: rasa ingin tahu, dorongan untuk berkolaborasi, dan keyakinan bahwa desain bisa menjadi bahasa universal.

Di salah satu sesi, perbincangan tentang smart glass dan fasad pintar berujung pada pertanyaan yang lebih eksistensial: apakah teknologi akan membuat kita lebih manusiawi? Sebab kaca pintar bisa menyesuaikan cahaya, tapi apakah kita bisa menyesuaikan diri dengan bumi yang terus berubah?

Indonesia, dengan dinamika industrinya, kini berada di persimpangan penting. Sebagai pasar yang tumbuh dan laboratorium ide, negeri ini punya kesempatan besar untuk memimpin percakapan tentang arsitektur tropis yang berkelanjutan. Tak heran jika tokoh-tokoh seperti Darma Putra Narjadin (AKLP) dan Pay Yap (Asosiasi Kaca Singapura) menekankan pentingnya kemitraan lintas negara untuk memperkuat inovasi di kawasan ASEAN.

Empat hari penyelenggaraan GAFA 2025 menjadi lebih dari sekadar pameran. Ia menjadi refleksi: bahwa arsitektur bukan hanya tentang ruang yang kita tempati, tapi tentang cara kita memperlakukan dunia yang menampung kita.

Glasstech Asia dan Fenestration Asia (GAFA) 2025, dapapat dikunjungi di ICE BSD City, 6-9 November 2025. Klik di sini untuk registrasi.

SHARE :
WhatsApp
Facebook
Twitter
Email
Artikel Lainnya