
Sebelas tahun bukan waktu yang singkat. Maka wajar kalau banyak ekspresi kegembiraan saat kabar Pasar Seni ITB akhirnya muncul lagi di tahun 2025. Tidak hanya untuk warga ITB, masyarakat Bandung, terlebih para alumni FSRD Dari jauh-jauh hari, grup alumni FSRD mulai ramai; ada yang menyiapkan tiket ke Bandung, ada yang nostalgia lewat foto-foto lama, intinya topik ini berhasil menyambung lagi obrolan khas saat jadi mahasiswa bertahun-tahun lalu.
Tapi jangan salah, mereka datang bukan cuma mau reuni. Pasar Seni ITB selalu punya magnet yang lebih dalam dari sekadar temu kangen. Di sinilah dulu mereka belajar bekerja gila-gilaan, berdebat sampai larut, lalu jatuh cinta lagi pada seni dan kawan-kawan seperjuangan. Kini, setelah lebih dari satu dekade, mereka kembali bukan hanya untuk mengenang, tapi untuk menyaksikan semangat itu masih hidup.
Kenapa Pasar Seni ITB
Ada mata yang berbinar, dada yang berdebar, atau bahkan darah yang berdesir ketika para alumni FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain) ITB mendengar kata ‘Pasar Seni ITB’. Rasanya bohong kalau jawabannya, “Biasa aja, tuh”. Kenapa sebegitunya? Ya, karena Pasar Seni ITB bak DNA mahasiswa FSRD ITB.
Membicarakan Pasar Seni, mustahil tidak menyertakan sosok Abdul Djalil Pirous, tokoh penting seni rupa modern Indonesia. Digagas pertama kali pada tahun 1972 oleh seorang A. D. Pirous, perintis studi Desain Komunikasi Visual di Indonesia, Pasar Seni ITB selalu berhasil menjadi suatu peristiwa kreatif yang menggerakkan satu kota Bandung. Di Pasar Seni ITB, para seniman profesional hingga awam bertemu dengan para penikmatnya. Berlangsung dalam satu hari selama 6 sampai 8 jam; atau 10 jam pada tahun 2020 silam, masyarakat bisa menyaksikan langsung proses kreasi bahkan memiliki karya itu sendiri. Pasar Seni ITB adalah semangat untuk mendekatkan seni kepada rakyat, menembus dinding galeri, dan menjadikan kampus sebagai ruang perayaan seni untuk semua kalangan. Itulah mengapa hingga kini, setiap generasi FSRD ITB selalu memandang Pasar Seni bukan sekadar acara, tapi warisan idealisme dan keberanian artistik dari para pendirinya.
Sejak sukses setelah digelar pada tahun 1972 itulah, Pasar Seni ITB menjadi tradisi kampus yang paling panjang dan paling hidup. Namun, tradisi ini tidak digelar tiap tahun, melainkan hanya sekitar 4 sampai 5 tahun sekali; atau kadang lebih lama lagi, seperti Pasar Seni ITB 2025 yang berjarak 11 tahun dari Pasar Seni ITB sebelumnya. Melihat interval yang tidak singkat, jelas saja, setiap digelar, ia seperti perayaan besar yang sudah ditunggu bertahun-tahun; semacam “hari raya” seni rupa Bandung dan Indonesia.
“Kenapa, sih, segitu lamanya?”, “Kenapa ngga setahun sekali?” Kalau saya yang jawab, “Ya, karena yang bikin mahasiswa. Iya, mahasiswa, bukan EO, bukan perusahaan, atau suatu lembaga besar. Mahasiswa kan, tanggung jawab utamanya kuliah, ya, Kak… Bukan bikin hajatan kampus. Ha… ha… ha…” Tapi apapun alasannya secara teknis, sejauh ini, belum ditemukan alasan pasti kenapa Pasar Seni ITB digelar setiap 4 atau 5 tahun sekali.
Yang saya rasa, Pasar Seni ITB jadi ruang dialog antara seni, masyarakat, dan zaman. Ekosistem di dalamnya, entah itu seniman, masyarakat, komunitas, teknologi, atau isu sosial, butuh waktu untuk berkembang dan berubah secara alami. Artinya, ketika Pasar Seni ITB digelar lagi di 4 atau 5 tahun kemudian, ia tidak sekadar mengulang format lama, tapi menjadi cermin perubahan zaman. Ia menjadi suguhan yang terhubung dengan situasi yang sedang bergumul di tengah masyarakat.

Pasar Seni ITB bagi Mahasiswa FSRD ITB dan ITB
Pasar Seni ITB adalah wujud puncak ekspresi kolektif dan solidaritas seni rupa ITB; lintas angkatan dan jurusan. Bagi anak SR, begitu kami menyingkat identitas formal “mahasiswa FSRD”, terlibat di dalam Pasar Seni ITB adalah momen langka. Ini seakan jadi momen pembaptisan anak SR; dari mahasiswa yang sibuk berkarya di studio untuk nilai dan ijazah menjadi seniman muda belum bertitel yang berkarya untuk publik. Saatnya anak-anak SR ini benar-benar diuji lewat kemampuan mereka mencipta, berkomunikasi, dan menggerakkan massa.
Bagi anak SR, ikut Pasar Seni berarti menjadi bagian dari sejarah panjang yang dimulai sejak 1972 itu. Panggung yang berapi-api inilah yang membuat setiap angkatan FSRD ITB tumbuh dengan impian, suatu hari nanti bisa jadi bagian Pasar Seni ITB; entah jadi panitia, penampil, atau senimannya. Ini adalah kesempatan anak SR ikut menyambung nyala yang sudah dijaga puluhan tahun oleh para pendahulunya. Itu sebabnya setiap kali Pasar Seni ITB digelar, selalu ada rasa “ini giliran kami”; giliran untuk membuktikan bahwa generasi sekarang pun masih bisa melahirkan sesuatu yang layak dikenang.
Dan ketika giliran itu datang, semua yang pernah dipelajari di kelas mendadak hidup. Seni rupa murni, desain, kriya, semua melebur jadi satu proyek gila yang nggak bisa diulang dua kali. Di situlah mereka benar-benar tumbuh; bukan lewat nilai apalagi tugas kuliah, tapi lewat keringat, konflik, dan kebanggaan yang sulit dijelaskan. Pasar Seni adalah laboratorium eksperimen raksasa tempat semua ilmu, ego, idealisme, dan kelelahan bertabrakan jadi satu karya hidup.
Pasar Seni ITB juga jadi momen ketika dunia luar benar-benar menengok FSRD. Masyarakat datang, media meliput, dan para alumni pulang kampung. Sebuah kesempatan FSRD ITB membuka pintunya selebar-lebarnya, membiarkan dunia masuk dan melihat: begini cara para mahasiswa Seni Rupa-nya berpikir dan mencintai hidup. Di tengah hiruk-pikuk itu, para mahasiswa sadar bahwa semua kerja keras, lembur, dan drama yang mereka jalani ternyata bermakna besar.
Bagi ITB sendiri, Pasar Seni ITB adalah bukti konkret bahwa kampus ini tidak hanya kuat di bidang sains dan teknologi, tapi juga punya urat nadi seni yang hidup dan mengguncang. Pasar Seni ITB menjadi pengingat bahwa kejeniusannya tak cuma di laboratorium dan persamaan rumit, tapi juga di keberanian berimajinasi. Sebuah perayaan kecerdasan yang tidak hanya logis, tapi juga puitis. Pasar Seni ITB, sejatinya, menjadi wajah ITB yang paling manusiawi; ramai, berantakan, tapi hidup dan jujur.
Untuk itulah seni rupa ada di ITB. Seni Rupa mengajarkan keberanian untuk membayangkan hal yang belum ada; dan di sanalah teknologi menemukan masa depannya. Maka di ITB, seni rupa bukan sekadar pelengkap, melainkan sumber kehidupan yang menjaga agar ilmu pengetahuan tetap berdenyut bersama nurani manusia.

Pasar Seni ITB 2025 dan Alumni FSRD ITB
Kita tidak sedang membahas bagus atau tidaknya Pasar Seni ITB 2025. Toh, kita sudah sepakat kalau Pasar Seni ITB adalah cermin batin suatu zaman—tempat di mana mahasiswa seni rupa ITB menatap dunia, menggugat kenyataan, dan menyalakan harapan lewat tangan-tangan yang berani bermimpi. Maka membandingkan edisi yang satu dengan lainnya ibarat membandingkan dua musim hujan; sama-sama turun dari langit, tapi membawa kisah dan tanah yang berbeda.
Bagi kami, para alumninya, ke Pasar Seni ITB selalu terasa seperti pulang kampung. Kadang kampung itu tampak berantakan, kadang terlalu rapi; tapi ia tetap rumah. Di sanalah kami menemukan kembali aroma khas lapangan merah, bilah-bilah bambu yang senantiasa ada di hari-hari itu, dan semangat yang dulu membuat kami tak tidur tanpa takut gagal. Namun, jika Pasar Seni hanya berhenti sebagai ajang reuni, kami yakin, rohnya akan mengecil. Reuni hanyalah pintu kecil menuju sesuatu yang lebih besar: memastikan api penciptaan masih menyala di tangan generasi baru.
Pasar Seni seharusnya menjadi perayaan keberanian, bukan kenyamanan. Dulu, keresahan sosial dituangkan lewat mural, instalasi-instalasi bambu, besi-besi yang berkarat, tekstil yang dijalin hingga membentuk doa. Sekarang, mungkin medianya berubah, bisa juga tidak. Tapi esensinya tetap: seni sebagai pernyataan zaman, bukan sekadar etalase jualan apalagi konten estetis semata di media sosial kita. Setiap karya dan aksi di Pasar Seni ITB, semestinya, adalah kalimat dari percakapan panjang antara manusia dan masanya.
Seluruh angkatan anak SR bersukacita melihat Pasar Seni ITB 2025 kembali menggeliat. Kampus Ganesha penuh sesak, ratusan ribu orang datang, wajah-wajah bersemangat, suara tawa di mana-mana; sebuah pasar yang sungguh “pasar”. Itu artinya masyarakat masih percaya, menunggu, dan menaruh harapan pada hajatan ini. Tapi di antara riuh itu, kami juga mendengar pertanyaan lirih: di mana “seni”-nya? Dulu orang datang bukan mencari kopi susu dan totebag lucu, tapi untuk tersesat di antara instalasi yang bikin bengong, berhenti di depan karya yang membuat diam dan berpikir, “Begini rasanya disentuh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”
Zaman memang berubah. Generasi baru ini hidup di dunia yang serba cepat dan serba online. Mereka lahir dan tumbuh di tengah layar-layar yang tak pernah tidur. Tapi justru di situlah tantangannya. Seni tak bisa di-swipe, adik-adik sayang. Ia butuh waktu, jeda, dan keberanian untuk menatap sesuatu sampai selesai. Mungkin, kini tekanan datang bukan dari dosen atau deadline, melainkan dari ekspektasi dunia agar kalian selalu “baik-baik saja.” Akibatnya, kadang mereka terlalu hati-hati, takut salah langkah, terlalu ingin aman. Padahal, dari kenekatanlah seni itu lahir. Dari keberanian menanggung kegagalanlah sesuatu yang baru tumbuh. Dunia mereka memang bising dan menuntut kewarasan, tapi seni, sayangnya, jarang lahir dari kenyamanan.
Kami tahu, setelah acara usai, banyak kritik datang. Tapi bagi kami, itu bukan serangan kepada panitia, melainkan teguran untuk Pasar Seni-nya sendiri. Tenang, hanya kakak yang boleh menegur adiknya; orang luar, tunggu dulu. Lagi-lagi, Tidak ada Pasar Seni ITB yang lebih baik dari yang lain, sebab setiap zaman punya nadanya sendiri. Seperti para ibu kepada anak-anaknya; tidak ada anak yang lebih disayang dari anak lainnya. Satu dunia ini tahu, setiap anak memiliki keunikan karakternya masing-masing. Dan Pasar Seni ITB bukan warisan untuk dijaga bentuknya, apalagi diteruskan formatnya. Pasar Seni ITB sejak awal awal tidak pernah hanya bicara tentang pameran seni, tetapi selalu menjadi refleksi sosial, kultural, dan emosional dari zaman. Jadi yang diwariskannya bukanlah bentuk melainkan api untuk diteruskan nyalanya.
Maka, tolong jaga apinya. Jangan biarkan “seni”nya beristirahat terlalu lama. Biarkan publik pulang bukan hanya dengan testimoni dimsum mentai atau matcha, tapi juga dengan dada yang hangat, kepala yang penuh tanya, dan hati yang terus bergetar. Karena ketika roh seni masih bernyawa, di sanalah inti Pasar Seni ITB tetap hidup, menjadi ruang di mana kita semua, tua dan muda, masih bisa belajar lagi cara menjadi manusia yang peka, berani, dan tulus mencipta.
Mungkin sudah saatnya bagi para anak SR terdahulu berhenti menuntut Pasar Seni untuk kembali seperti eranya. Dunia sudah berubah, kawan, begitu juga manusianya. Setiap angkatan punya cara, ritme, dan bahasanya sendiri dalam menerjemahkan seni dan zamannya. Kita tak bisa meminta ikan salmon berenang seperti marlin, atau menuntut arus sungai tetap sama di setiap musim. Yang penting, airnya masih mengalir, masih memberi hidup bagi ekosistem yang sama. Tugas kita kini bukan menjaga bentuknya, tapi memastikan semangatnya tetap hidup: agar Pasar Seni ITB, dengan segala caranya, tetap jadi rumah bagi imajinasi yang tak pernah tua. Ketemu lagi, ya, kita di wadah masa yang berbeda, di Pasar Seni ITB 4 atau 5 tahun lagi. Kalau dari Mars Pasar Seni ITB 2010, “Dan jangan ada banyak pertanyaan. Pokoknya jayalah Pasar Seni ITB”!
 
								 
                                     
                                     
															 
															 
															