Bayangkan sebuah ruang di mana seni, budaya, dan inovasi berjalan beriringan. Seperti aliran garis yang bebas namun tetap saling terhubung. Di sanalah J+ Art Awards 2025 menempatkan dirinya—bukan hanya sebagai ajang kompetisi seni, tetapi sebagai gerakan yang menghidupkan ulang percakapan lintas batas. Tahun ini, J+ Art Awards melebarkan sayapnya ke kancah internasional lewat kolaborasi strategis dengan Study: Osaka Kansai International Art Festival (OKIAF), sebuah festival seni kontemporer di Jepang yang menjadi titik temu antara seniman dan pemikir budaya dari berbagai penjuru dunia.
Diselenggarakan oleh Connected Art Platform (CAP), J+ Art Awards 2025 mengambil tema Living Lines, yaitu sebuah metafora puitis tentang garis-garis yang menghubungkan antara masa lalu dengan masa depan, ritual dengan teknologi, dan memori. Living Lines adalah pernyataan kuratorial yang mengajak publik melihat seni dari sudut pandang lain, yaitu sebagai bagian dari denyut kehidupan: bergerak, bernapas, dan juga berubah.
Jembatan Budaya dari Indonesia ke Dunia
Untuk pertama kalinya, CAP membawa suara dan karya seniman Indonesia ke dalam lanskap seni Asia melalui Connected Art Platform x Art & Bali Booth di OKIAF. Berlangsung di Osaka International Convention Center, pameran ini menjadi bagian dari Study × PLAS: Asia Art Fair. Sebuah pameran seni internasional Jepang–Korea di bawah naungan OKIAF 2025 yang bertepatan dengan Osaka–Kansai Expo 2025. Sebanyak 23 karya dari 9 seniman akan dipamerkan di booth ini, yang akan mengajak audiens global menyelami berbagai pendekatan artistik, dari praktik menggambar yang intim hingga eksplorasi digital dan eksperimen material yang berani.
Nama-nama seperti Nasirun, Yessiow, Utami A. Ishii tampil bersama generasi muda seperti Dwiky Aditya, Riyan, dan Irsyad K. Mereka membawa narasi yang lahir dari keseharian, tradisi lokal, dan respons terhadap isu-isu kontemporer seperti krisis ekologi dan hilangnya pengetahuan tradisional. Di tengah kompleksitas itu, muncul juga suara-suara baru dari tiga finalis GENERAYA Awards, yakni Popomangun, Sandat Wangi, dan I Gede Sukarya—yang masing-masing menyuarakan kepekaan ekologis, kelembutan simbolik, dan perenungan atas keberadaan.
Lebih dari Sekadar Pameran
Keterlibatan J+ Art Awards dalam OKIAF bukanlah partisipasi biasa. Ini merupakan sebuah strategi jangka panjang untuk membangun ekosistem kreatif Indonesia yang mampu bersaing dan berdialog di level global. “Kolaborasi ini bukan sekadar partisipasi, tapi strategi membangun ekosistem,” ujar Adam Hawari, selaku Manajer Proyek J+ Art Awards. Dalam konteks ini, booth CAP di OKIAF menjadi panggung penting untuk memfasilitasi pertukaran ide, kolaborasi antar negara, dan tentunya memperluas peluang komersial serta visibilitas seniman Indonesia.
Tahun ini, J+ Art Awards 2025 berhasil menarik hampir 500 peserta dari 42 negara, sebuah capaian yang menunjukkan bahwa gagasan tentang seni lintas disiplin, budaya, dan isu sosial yang diusung kompetisi ini telah bergema luas ke ranah internasional. Dengan dukungan dari tim kurator lintas negara seperti Mona Liem, Tobias Brunner (Swiss), Abby Hermosilla (MoMA New York), dan Yessiow (Forbes 30 Under 30 Asia 2024), program ini tidak hanya kuat secara lokal, tapi juga relevan secara global.
Menyulam Masa Depan Melalui Garis-Garis Hidup
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, J+ Art Awards memilih untuk tidak diam. Ia memilih untuk menyulam. Dengan garis-garis yang hidup, baik itu dalam wujud sapuan kuas, citra digital, atau serpihan cerita dari tanah kelahiran—seniman Indonesia hadir membawa perspektif yang jujur, reflektif, dan penuh harapan. Mereka tidak hanya mengisi ruang, tetapi juga menciptakan ruang baru—tempat di mana seni bisa tumbuh, menghubungkan, dan menyembuhkan.