Emte tentang Dunianya, Dunia Ilustrator, dan Dunia yang Menjadi Sumber Inspirasi

Stella Mailoa

Sejak kecil, bahkan saat masih duduk di bangku TK, ilustrator Mohammad Taufiq atau yang lebih dikenal dengan nama Emte, sudah senang menggambar. Secara otodidak, tanpa belajar gambar atau mengikuti sanggar manapun. Mulai dari buku pelajaran sampai tembok, nggak ada yang luput dari coretannya.

Determinasinya untuk terus bersinggungan dengan dunia gambar, menuntunnya mengambil jurusan Desain Komunikasi Visual di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Meski mengawali perjalanan profesionalnya dengan menggambar ilustrasi untuk halaman majalah, tapi ia justru mendapatkan uang pertama kali dari komik yang ia gambar sendiri saat masih SMP. Kini, karyanya bisa dilihat di berbagai tempat mulai dari tembok gedung, cover buku, kemasan minuman teh, hingga pada permukaan speaker.

Permintaan untuk menampilkan karyanya pun mulai berdatangan. Sampai tulisan ini dibuat, Emte sudah menggelar pameran tunggal sebanyak tiga kali. Di sela-sela kesibukannya antara pameran tunggal di Galeri Rachel dan mempersiapkan pameran tunggal pertamanya di Jerman, Emte menyempatkan waktu untuk mengobrol dengan Written.

Simak pembicaraan kami tentang dunia Emte, dunia yang menjadi sumber inspirasinya, dan dunia ilustrator.

Tentang Dunia Emte

Written: Waktu kecil pernah belajar atau les gambar nggak?

Emte: Nggak, gue otodidak terus, nggak ikutan sanggar atau les. Saat kuliah baru lah yang benar-benar naamanya belajar gambar. Gambar still life, perspektif, dan lain-lain.

Written: Kenapa ambil Desain Komunikasi Visual (DKV) dan bukan seni murni seperti melukis?

Emte: Gue waktu itu merasa takutnya kalau ambil jurusan itu gue akan stuck di melukis aja. Sementara, gue pengen melakukan banyak hal karena gambar kan bisa macam-macam. Gue suka mendesain, suka memperhatikan halaman dan cover majalah. Gue suka koleksi komik-komik superhero dan melihat bahwa komik itu pasti diwarnai pakai komputer. Nah ilmu-ilmu seperti itu yang gue pengen, jadinya gue ambil jurusan desain.

Written: Lalu bagaimana ceritanya sampai bisa menggambar ilustrasi di majalah?

Emte: Gue mulai ambil pekerjaan majalah saat masih kuliah. Sekitar tahun 2001 ada teman yang melihat gambar gue lalu bertanya mau jadi kontributor untuk majalah nggak. Waktu itu majalah Female Indonesia sedang cari ilustrator. Saat ketemu gue bawa contoh gambar-gambar gue dan mereka suka. Akhirnya gue mengisi beberapa rubrik.

Setelah itu gue juga sering kirim gambar ke surat pembaca majalah Seventeen Indonesia yang baru terbit. Setelah beberapa kali kirim gambar, mereka tertarik dan mengajak gue untuk mengisi ilustrasi untuk mereka. Dari sana menyebar ke majalah-majalah lain seperti Cosmopolitan dan Harper’s Bazaar.

Written: Selain majalah, ada pekerjaan lain juga kah?

Emte: Setelah itu gue jadi bikin cover buku dan cover kaset. Ada juga brand komersial yang melihat ilustrasi di majalah, kemudian meminta gue buat ilustrasi untuk print ad mereka di majalah itu. Waktu itu beberapa brand termasuk Close Up dan Pond’s. Setelah lulus tahun 2024, gue tinggal meneruskan pekerjaan-pekerjaan freelance selama ini.

Written: Sebenarnya style gambar lo sendiri seperti apa? Dari awal sudah seperti ini?

Emte: Style gue dari awal memang menyesuaikan brand atau majalah. Misalnya untuk fashion biasanya lebih suka yang figurnya slim, yang remaja dibuat lebih cute, untuk Cosmopolitan cantiknya lebih natural. Dibedakan dari gambar mukanya dan rambutnya.

Written: Berarti dari awal memang selalu ada figur orang?

Emte: Betul. Karena gue bikin komik kan. Selain itu, di majalah memang banyak permintaan gambaran situasi yang membutuhkan figur.

emte
Pixel Deep (28)

Written: Apa yang berbeda dari sebelumnya otodidak dengan setelah kuliah di jurusan DKV?

Emte: Gue belajar soal target market. Belajar menempatkan diri dan menyesuaikan dengan klien. Seperti apa gaya gambar yang sesuai dengan klien tertentu. Karena bisa menguasai itu, gue jarang dimintai revisi, khususnya untuk ilustrasi di majalah. 

Written: Sejak kapan mulai proyek personal seperti buat karya untuk pameran?

Emte: Jadi dari tahun 2001-2008 itu gue lebih banyak mengerjakan pekerjaan komersial dan proyek personal itu hanya untuk iseng-iseng aja. Masuk tahun 2009, gue dapat beberapa teman baru yang suka mengajak gue lihat pameran. Sejak itu, gue mulai coba melukis di kanvas untuk proyek personal dan ikut pameran.

Written: Pameran pertama di mana?

Emte: Di kampus pernah ada pameran karya yang produksinya melibatkan proses fotokopi. Lalu tahun 2001 gue terpilih untuk pameran ulang tahun Uni Eropa. Temanya adalah Uni Eropa di mata kita. Saat itu gue bikin komik.

Pertama kali ikut pameran gabungan dengan seniman lain itu di Puri Art Gallery di Jakarta Art District dulu di Grand Indonesia pada tahun 2010. Itu gue udah berpameran dengan medium kanvas. Sejak itu gue mulai rajin membuat karya di atas kanvas.  

Pameran solo gue pertama itu di tahun 2014 di Platform 3 Bandung. Tentang medium cat untuk seniman yang kita kontrol untuk membentuk figur atau benda, tapi pada satu titik ia melebur.

Written: Mengapa awalnya memakai medium watercolor?

Emte: Gue mulai suka buat ilustrasi pakai watercolor itu dari sekitar tahun 2007. Awalnya karena ingin ada variasi. Lalu setelah itu mulai senang dengan media itu dan diteruskan untuk proyek personal. Gue juga tertarik menggunakan cat akrilik.

Written: Apa yang membuat lo merasa harus serius mengejar proyek personal juga? Kesulitannya apa?

Emte: Gue merasa seperti punya pencapaian dengan mengikuti pameran-pameran. Kesulitannya hanya satu, semua diatur sendiri. Fokus sama diri sendiri. Gue harus mengatur diri sendiri dengan pintar. Ketika gue punya rencana atau ditawarkan untuk pameran tunggal, gue secara sadar mengatur alokasi tenaga, waktu, budget.

Memento Memori

Tentang Dunia yang Menjadi Sumber Inspirasinya

Written: Tema-tema karya lo sangat mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ada alasannya nggak?

Emte: Iya memang karena gue suka aja. Seni kan tentang sebuah persepsi. Apa yang gue lihat diracik menjadi karya yang gue olah lagi visualnya berdasarkan hasil khayalan.

Written: Prosesnya sendiri seperti apa?

Emte: Gue berkhayal tapi tetap bereaksi dari apa yang gue lihat di sekeliling gue. Apa yang menarik gue rekam, gue foto.

At Different Stages 14

Written: Konsep pameran Everything Must Go! seperti apa?

Emte: Gue punya konsep pameran seperti supermarket. Makanya harganya dicantumkan. Kita lagi menyindir pameran seni rupa yang eksklusif, ukuran karya besar, harganya 50 juta. Lalu yang datang merasa ‘aduh siapalah saya.’

Pameran ini dibuat agar orang nggak perlu merasa sungkan untuk bertanya harga karya. Atau melihat oh gue bisa beli nih karyanya. Jadi buat pameran yang pengunjungnya merasa seperti masuk ke supermarket, merasa nyaman dan tidak terintimidasi.

Ada speaker Devialet dan Teh Botol Sosro dalam pameran juga menunjukkan bahwa praktik berkesenian gue itu lintas disiplin. Bahwa seorang seniman nggak perlu terpaku hanya pada satu medium saja, bisa kemana-mana. Bisa kolaborasi. Harus berani membuat hal lain, sesuatu di luar zona nyamannya. Gue bisa buat karya masa bodoh banget semau gue, tapi juga bisa bikin karya yang sesuai klien.

speaker devialet

Written: Ada sekitar 300an karya yang dipamerkan. Apa yang lo ingin pengunjung nikmati dari pameran ini?

Emte: Mereka bisa menikmati dengan cara mereka sendiri. Kalau merasa relate silakan, kalau merasa ingin berkhayal dengan karya itu juga silakan.

Siapa tahu bisa menginspirasi orang bahwa sebenarnya hal-hal remeh temeh juga bisa jadi karya. Nggak harus adiluhung banget. Orang suka ngomong ‘aduh suka bingung kalau ke pameran seni kontemporer, takut nggak ngerti, suka berat.’ Berat itu kayak gimana sih? Berat kan masalah masing-masing.

Yang baca teks kuratorial ada yang ngerti ada yang nggak. Atau mungkin ngertinya bulan depan, jadi ya memang personal penerimaan otaknya. Ada yang nggak perlu baca kuratorial lalu dia menerjemahkan sendiri ya boleh-boleh saja. Ibu Rachel (pemilik Galeri Rachel) pernah bilang ‘nggak ada yang benar atau salah dalam urusan berkarya.’

Gue pengen mereka bisa melihat hal-hal yang gue lakukan lintas disiplin tadi. Digital, on paper, di atas kanvas, dan lainnya. Berkarya itu bisa bermain-main.

Written: Ada pameran yang paling memorable?

Emte: Semuanya memorable karena punya kenangan sendiri. Buat gue memorable bukan melulu tentang karya atau pameran tapi apa yang terjadi di luar itu. Mungkin yang terakhir gue ke Kanada. Itu pertama kali gue kesana, pertama kali gue traveling sendirian, dan gue satu-satunya seniman yang datang kesana dari 22 orang ilustrator mancanegara yang berpameran.

Written: Apa tema pamerannya?

Emte: Tentang sejarah kota tempat kamu tinggal. Gue ngomongin Jakarta yang adalah kota metropolitan dan semua orang ada di sini. Jakarta itu magnet semua orang yang mengadu nasib. Karena Jakarta macet, salah satu solusinya itu naik motor. Makanya motor jadi objek lukisan gue.

Salah satu alasan pameran ini memorable lagi karena gue bisa menceritakan tentang kota Jakarta yang kita tinggali ini, ke orang yang sama sekali nggak paham tentang Jakarta. Pernah ada yang bilang lo akan merasa Indonesia banget saat lo nggak di Indonesia.

Written: Bagaimana dengan pameran yang di Frankfurt nanti? Pameran solo di luar negeri yang pertama kali.

Emte: Judulnya Rest.Less.Nest. Rest karena kita nggak pernah istirahat, ngebut terus. Less berbicara tentang kepadatan, berkurangnya ruang publik, orang makin padat. Nest artinya karena kepadatan itu, bisa dibilang kendaraan kita menjadi rumah kedua yang kita bawa jalan-jalan. Juga disambungkan ke problem yang cukup signifikan adalah susahnya mencari hunian. Kita yang lama tinggal di sini belum tentu menjamin bisa punya rumah di Jakarta.

Visualnya orang-orang naik motor dengan muatannya. Ada yang bawa kulkas, mesin cuci, kasur, paket-paket di depan belakang. Semuanya on paper.

Foto oleh Muhammad Reza

Written: Gimana dengan Gugug? Apa sejarahnya si karakter menggemaskan ini? Lo bukannya suka kucing ya?

Emte: Iya jadi kalau gue bikin karakter kucing jadi terlalu predictable. Dulu di kampus ada anjing yang suka berkeliaran dan dipelihara sama anak-anak. Anjing di kampus ini jadi bagian kita. Sejak tahun 2001 gue bikin komik underground dengan karakter anjing ini. Awalnya judulnya Anjing tapi karena diterbitkan Gramedia, gue ubah jadi Gugug.

Written: Kapan diterbitkan oleh Gramedia?

Emte: Gue cukup banyak kenal editornya dan ada yang bertanya ingin menerbitkan komik ada materi atau nggak. Akhirnya gue mengajukan Gugug dan mendapat banyak masukan soal cerita, karena yang gue bikin zaman kuliah dulu cukup brutal.

Gugug juga sebagai karakter cukup fleksibel jadi banyak gue jadiin merchandise. Coloring book, stiker, patch, dan lain-lain.

Tentang Dunia Ilustrator

Written: Ada tips cara menentukan harga jasa ilustrator?

Emte: Pada dasarnya, harga itu lo yang tau sendiri. Seberapa pantas karya lo dibayar berapa, seberapa nyaman buat lo. Apalagi karya personal seperti gue buat lukisan. Misalnya gue buat lukisan besar gue jual 15 juta rupiah. Mungkin buat beberapa orang ‘kenapa kok harganya segitu, kan lo udah lama berkarya’. Tapi gue punya alasan sendiri misalnya karena di dunia seni rupa gue masih membangun nama.

Di sisi lain, ada juga teman-teman yang hanya karena ngetop di sosmed, masuk ke dunia seni rupa tiba-tiba menentukan harga karya langsung mahal. Ya nggak gitu juga.

Jadi tipsnya, cari pengalaman dulu. Kayak dulu gue awalnya dibayar segini nggak apa-apa. Nanti pelan-pelan belajar berani negosiasi. Karena lo kan punya skill. Di samping menajamkan skill, lo juga harus coba berani negosiasi untuk minta bayaran lebih.

Written: Jasa seorang ilustrator secara umum apakah dibayarnya seperti desainer per meter persegi atau per proyek? Ada standarnya?

Emte: Iya sama. Ada yang dibayar per meter persegi, ada yang dibayar per proyek atau per paket. Kalau gue cara berhitungnya ada yang ingin gue tabung, ada yang gue pakai beli alat, buat kasih makan asisten, waktunya berapa lama, dan lain-lain. Ada banyak pertimbangan. Semuanya hasil observasi dan bertanya. Namun pada akhirnya balik lagi, lo mau menghargai diri lo seberapa pantas dengan bayaran tertentu.

SHARE :
WhatsApp
Facebook
Twitter
Email
Artikel Lainnya
No data was found