Art speaks the truth. Karya seniman asal Bali, Gus Dark, kerap menyuarakan kenyataan yang terjadi di pulau kelahirannya, termasuk soal isu sosial dan lingkungan seperti sampah dan alih fungsi lahan. Bahkan ia pun tak segan pedas soal perilaku miring expat yang belakangan jadi sorotan di pulau dewata.
Soal signature style, seniman asal Karangasem ini memilih gaya pop art ala kartun yang kerap ia kontraskan dengan elemen budaya Bali dengan gaya yang blak-blakkan dan jenaka. Bagaimana kisah perjalanan kariernya sebagai seniman? Berikut wawancara singkat dengan Gus Dark.
Written (W): Bisa ceritakan awal minat menjadi visual artist?
Gus Dark (GD): Menggambar sudah jadi hobi saya sejak kecil. Ayah saya adalah seorang guru dan seniman: ia akan menggambar sesuatu di bawah sebuah alfabet supaya proses pembelajaran lebih visual untuk menarik minat anak-anaknya untuk membaca. Justru saya lebih tertarik dalam cara ia menggambar maka saya akan meniru gambarnya sebelum menulis alfabet.
Kemudian saya mulai menggeluti seni ilustrasi ketika saya bekerja di sebuah koran di mana pada saat itu sebuah gambar yang bagus dan kritis dibutuhkan pada halaman depan untuk menonjolkan isu sosial politik. Untuk mendapatkan visual yang benar-benar pas, saya akan membaca semua berita lalu menyerap esensinya dan menerjemahkannya ke dalam format visual.
Saya membawa kebiasaan ini sampai sekarang karena saya tak ingin menciptakan visual yang dangkal dan hanya berdasarkan luapan emosi. Seiring waktu, saya pun menyadari kalau visual art bisa jadi senjata untuk menyuarakan sebuah isu, yang saya sebut sebagai “positive propaganda”.
Di bawah banner Darkade Propaganda dengan tagline “fight through art”, saya memanfaatkan kemampuan saya untuk menyorot hal-hal yang tidak diangkat oleh media mainstream atau internasional.
W: Dan karena itukah signature style kamu juga banyak melibatkan budaya Bali dan elemen lokal?
GD: Saya sudah sering menggunakan karakter “orang Bali” di era sebelum mass tourism.
[Karakternya] hanya menggunakan kain, atau kamen kancut yang menyimbolkan keberanian, dan tanpa baju. Visualisasi ini sangat penting untuk menyampaikan makna karakter yang tak memiliki kepentingan tersembunyi, jujur, dan down-to-earth.
Lalu saya mencoba membalikan gempuran visualisasi Bali yang romantis dan eksotis ini dengan memberikan audiens internasional dengan karya seni yang satir tentang apa yang saat ini terjadi di Bali dan Indonesia.
Saya mengundang orang untuk melihat lebih dalam dan mencoba memberikan porsi seimbang akan isu sosial dan lingkungan yang terjadi di sini supaya tidak ada omisi karena alasan ekonomi, investasi, dan industri pariwisata yang mewah. Saya ingin menguak kenyataan kehidupan dan budaya lokal.
W: Bisa elaborasi lebih lanjut tentang “positive propaganda” yang kamu sebut sebelumnya?
GD: Propaganda dalam wujud visual telah eksis sejak Perang Dunia I dan II. Selain memiliki nilai artistik yang tinggi, karya seni visual lebih mudah diserap oleh seluruh lapisan masyarakat. Informasi yang disodorkan dalam bentuk visual bisa dinikmati oleh siapa saja terlepas dari usia, pendidikan, latar belakang sosial, dan kelas ekonomi. Propaganda visual telah jadi pilihan bagi banyak orang karena kecepatannya dalam menarik perhatian.
Itulah yang membuat saya sadar kalau saya punya kemampuan untuk menyuarakan pesan-pesan sosial, kritikan, dan awareness atas mereka yang tak terdengar, mereka yang terpinggirkan sampai makhluk hidup di sekeliling kita, seperti anjing Bali dan eksploitasi lumba-lumba.
W: Apa yang kamu harap karya seni kamu bisa capai untuk ke depannya?
GD: Harapan saya adalah suatu hari akan ada lebih banyak lagi orang yang berani untuk bersuara lantang melalui seni dan media lainnya karena kita punya hak untuk mengkritik. Mungkin saat ini teman-teman aktivis saya lagi mengalami masa-masa yang susah, tapi untuk ke depannya semoga kritikan bisa jadi hal yang umum yang menjadi satu pilar demokrasi yang mengukur keterlibatan tiap orang di negara ini dalam mengawasi cara kerja pemerintah.
Mimpi jadi alasan kita hidup. Dan mimpi saya adalah untuk seniman lain bisa menyuarakan isu-isu penting tanpa rasa takut.