Art & Bali 2025: Menjembatani Tradisi dan Inovasi di Nuanu Creative City

Diah Aryanti

Tabanan, Bali — Akhir pekan pertengahan September 2025 menjadi babak baru bagi peta seni kontemporer di Indonesia. Untuk pertama kalinya, Art & Bali digelar di Nuanu Creative City, kawasan kreatif yang tengah tumbuh di pesisir Beraban, Tabanan. Selama tiga hari, tepatnya pada 12–14 September, pengunjung disuguhkan pengalaman yang melampaui format art fair biasa: bukan sekadar melihat karya, melainkan memasuki dialog yang hidup antara masa lalu dan masa depan, antara yang lokal dan yang global.

Nuanu Sebagai Panggung Kreatif Baru

Pembukaan Art & Bali 2025 di Labyrinth DOME.
Penampilan tarian ‘Kinara Kinari’ oleh Bumi Bajra.

Tema besar yang diangkat, “Bridging Dichotomies”, terasa jelas sejak memasuki ruang-ruang pameran. Alih-alih menghapus ketegangan antara tradisi dan modernitas, teknologi dan humanisme, pameran ini justru merayakan perbedaan itu. Dari karya berbasis medium baru hingga instalasi yang merujuk pada kearifan lokal, setiap sudut seperti menyuguhkan percakapan tentang bagaimana seni dapat merangkul dua kutub sekaligus.

Nuanu Creative City sendiri menjadi panggung yang nyaris sempurna. Lanskap alam Bali berpadu dengan arsitektur kontemporer, menciptakan atmosfer yang segar bagi interaksi seni lintas disiplin. Di area terbuka, instalasi monumental berdiri berdampingan dengan ruang pamer galeri, sementara musik dan performa malam hari menambah dimensi pengalaman yang tak hanya visual, tapi juga emosional.

Labyrinth Art Gallery.
‘Squat Stool’ oleh Rodney Glick.

Setelah konferensi pers di Labyrinth DOME, pengunjung diajak berkeliling di Labyrinth Art Gallery yang menghadirkan ragam karya yang kaya perspektif. Dari lebih dari 150 seniman dan 17 galeri dari 5 dalam dan luar negeri. Salah satu sorotan utama datang dari pameran “Terra Nexus” yang dikurasi oleh Mona Liem, menyoroti persimpangan seni, lingkungan, dan teknologi. 

‘Under the Shadow of Wings’ oleh Nus Salomo.
Kritik sosial dalam karya ‘Nasi Bungkus’ oleh Budi Ubrux.
‘Kicau Kacau’ oleh Muhammad Aji Prasetyo.
‘How Do You Taste? Series No. 004’ oleh Utami A. Ishii.
Mencari tahu ‘suara’ dari sambal.
Seniman asal Jepang Iroha Ozaki, yang karyanya turut ditampilkan di Terra Nexus.
‘Daun to Earth’ oleh Dadi Setiadi.

Di VIP Day, perhatian publik tertuju pada karya terbaru Heri Dono, Trokomod, yang sebelumnya pernah tampil di Venice Biennale 2015. Kali ini Trokomod dipresentasikan secara monumental dengan sentuhan berbeda, dengan diiringi penampilan spesial dari Kita Poleng. Di penghujung hari, The Earth Sentinels karya Daniel Popper menjadi penutup yang tidak kalah spektakuler.

Ekosistem Kolektor dan Hunian Kreatif

Tak hanya menawarkan pengalaman estetik, Art & Bali 2025 juga memikirkan sisi praktis dunia seni. Untuk pertama kalinya diperkenalkan Art Collectors Pass, sebuah akses eksklusif bagi kolektor yang memungkinkan mereka menjelajahi pameran dengan lebih intim: mulai dari sesi tur privat bersama kurator, akses awal ke instalasi penting, hingga kesempatan bertemu langsung dengan seniman. Kehadiran pass ini memberi sinyal bahwa Art & Bali ingin menjadi ruang yang ramah bagi ekosistem kolektor, sekaligus mendorong terjadinya transaksi seni yang sehat dan berkelanjutan.

Suasana sore di Nuanu Creative City.
Penampakan ‘The Earth Sentinels’ saat siang hari terlihat ‘raw’ dengan material beton, baja, dan tanaman hidup.
Mengintip proses pembuatan vas dalam showcase di Horizon Glassworks.

Di sisi lain, Nuanu memanfaatkan momentum ini untuk meluncurkan proyek Nuanu Real Estate. Kehadiran real estate bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian dari visi besar menjadikan kawasan ini sebagai creative city yang berfungsi penuh. Hunian yang ditawarkan diposisikan sebagai ruang hidup yang terhubung dengan seni, budaya, dan lingkungan, sebuah ekosistem yang memungkinkan orang untuk tidak hanya menikmati seni, tetapi juga menjadikannya bagian dari keseharian.

Masa Depan Bali di Panggung Seni Global

Yang membuat Art & Bali terasa berbeda adalah keterlibatan seniman lokal yang diberi ruang sejajar dengan nama-nama internasional. Bali yang kerap ditempatkan sebagai “eksotika” dalam narasi global, kali ini tampil sebagai subjek yang berbicara lantang. Kehadiran mereka memperlihatkan bahwa ekosistem seni lokal bukan sekadar pelengkap, melainkan motor yang mendorong terjadinya percakapan yang lebih luas.

Secara keseluruhan, Art & Bali 2025 berhasil menegaskan Bali sebagai pusat seni kontemporer yang berani bereksperimen, tanpa melepaskan akar kulturalnya. Meski masih ada tantangan dalam hal logistik dan kesinambungan ekosistem, edisi perdana ini sudah memberi sinyal kuat: seni di Bali tidak hanya berhubungan dengan tradisi dan pariwisata, melainkan juga dengan masa depan global yang penuh kemungkinan.

SHARE :
WhatsApp
Facebook
Twitter
Email
Artikel Lainnya