Wes Anderson baru saja merilis film terbarunya, Asteroid City. Seperti biasa, filmnya bertabur bintang-bintang Hollywood ternama, sebut saja Scarlett Johansson, Tom Hanks, Tilda Swinton, Margot Robbie si Barbie, serta aktor “langganan”-nya, Jason Schwarzman, dan Bill Murray.
Wes Anderson, sebagai sutradara, memiliki gaya yang sangat unik. Itu adalah pernyataan valid. Boleh dibilang bahkan nyeni banget. Mulai dari alur cerita, ekspresi para aktornya (deadpan atau lempeng), desain produksi, palet warna, hingga sinematografi, gaya Wes Anderson khas sekali. Bahkan gaya sinematografinya ini sempat ramai dijadikan parodi style film Wes Anderson, mulai dari Saturday Night Live hingga para TikTokers. Well, parody is a form of flattery, right?
Walau begitu, tetap bintang utama film Wes Anderson yang menarik audiens ke bioskop adalah… Wes Anderson. Atau, lebih tepatnya, gaya sang sutradara dalam menyajikan cerita dalam kemasan unik nan quirky.
Lalu apa yang menarik dan khas dari seorang Wes Anderson di film Asteroid City?
Teknik Planimetrik
Asteroid City tetap konsisten soal production design. Serupa dengan film-film Wes Anderson terdahulu, The Royal Tennenbaums, The Darjeeling Limited, dan The Grand Budapest Hotel.
Untuk hal ini, Anderson lanjut berkolaborasi dengan Adam Stockhausen (The French Dispatch) sebagai Art Director. Dalam sebuah wawancara dengan IndieWire, Adam mengambil beberapa inspirasi untuk menciptakan setting retrofuturistik Asteroid City. Asteroid City adalah sebuah kota yang populer karena jadi tempat sebuah pesawat UFO mendarat.
Dari segi feel, ia ambil inspirasi dari beberapa film Hollywood lawas bergenre neo–western. Sebut saja, Bad Day at Black Rock (1955), Kiss Me Stupid (1964), dan Niagara (1953). Inspirasi ini dituangkan untuk setting kota tahun 50an otentik yang berlokasi di tengah padang gurun (meskipun mereka shooting-nya di Spanyol). Selain itu, ia juga mengambil referensi berbagai fotografi yang menampilkan monumen dan daya tarik alam padang gurun seperti Monument Valley yang terkenal jadi destinasi wisata.
Namun, di luar itu, Adam tetap mencoba untuk konsisten dalam gaya visual film Wes Anderson, yang sebelum syuting sudah direncanakan matang melalui storyboard. Mereka tetap menggunakan teknik planimetric (teknik untuk mengukur jarak pada peta), yang jadi ciri khas framing Anderson. Selintas, hasilnya tampak flat namun sebenarnya memiliki komposisi presisi yang simetris yang memberikan konteks lokasi serta vibe ke tiap adegan.
Childlike Fantasy
Menonton film-film Wes Anderson terkadang memang seperti nonton storybook, dengan title cards yang memecah film jadi beberapa chapter. Lantas ada narasinya pula yang menuturkan plot cerita dan pemikiran karakter utama dengan gaya jenaka (meski tetap lempeng).
Dari sisi cerita dan performa para aktor, mungkin tak sekompleks sinematografi, apalagi karakternya tak dituntut untuk berekspresi intens. Walau begitu, sama seperti gaya penyutradaraan, simak tiap karakter film Wes Anderson—mulai dari film perdananya, Bottle Rocket—maka kamu akan menyadari ada benang merah: apabila tokoh utama bukan anak kecil maka orang dewasanya bertingkah seperti anak kecil. Selaras dengan estetika visualnya yang cenderung childlike.
Tak banyak sutradara zaman sekarang yang memiliki gaya visual khas seperti Wes Anderson. Mungkin hanya Tim Burton yang hingga saat ini tetap konsisten dengan gaya penyutradaraan dan pemilihan tema gothic baik itu dalam genre action, horor ataupun komedi. (Dari sisi cerita unik nan quirky mungkin hanya Spike Jonze yang satu frekuensi dengan Anderson)
Sentuhan Wes Anderson pun tetap terasa ketika ia membuat film animasi, seperti di Fantastic Mr. Fox dan Isle of Dogs. Sayangnya, dari 11 film yang telah ia garap, ia belum pernah memenangkan Oscar dan hanya sebatas nominasi untuk Royal Tennenbaums, Fantastic Mr. Fox, Moonrise Kingdom, dan The Grand Budapest Hotel, yang terakhir ini untuk pertama kalinya raih nominasi Film Terbaik.
Diakui atau tidak, Wes Anderson tetap melaju dengan kecintaannya terhadap medium sinema. Karena statusnya sebagai auteur (seseorang yang memiliki visi dan gaya berbeda dari mainstream) tak heran banyak bintang film yang ingin terlibat dalam projeknya, seperti Timothee Chalamet dan Saoirse Ronan di film sebelumnya The French Dispatch.
Karena tak dimungkiri, filmnya memang nyeni banget.