Belajar Menghargai Dari Teknik Kintsugi Asal Jepang

Aragea Hidayat

Sebelum masuk ke pembahasan teknik asal Jepang ini, Written mau bercerita sedikit. Dalam perjalanan hidup, perasaan tidak sempurna sering kali muncul. Ada masa ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan, ketika kita gagal, ditolak, atau harus merelakan sesuatu yang begitu diinginkan. Namun sebenarnya, ketidaksempurnaan adalah bagian dari proses. Dari sanalah tumbuh kekuatan yang sering kali tidak kita sadari.

Nilai-nilai itu tercermin dalam kintsugi, seni tradisional perbaikan keramik dari Jepang yang melihat kerusakan bukan sebagai akhir, melainkan awal dari bentuk keindahan yang baru. Dalam praktiknya, keramik yang pecah tidak dibuang atau ditambal agar kembali seperti semula. Justru, retakan-retakan itu disatukan kembali menggunakan bubuk emas, dibiarkan terlihat, dan bahkan dijadikan pusat perhatian. Bagi para pengrajin kintsugi, setiap garis pecah menyimpan cerita. Bukan cacat yang harus dihilangkan, melainkan jejak perjalanan yang membuat sebuah benda menjadi lebih bernilai dan bermakna.

Seni Kintsugi. Sumber: instagram.com/tomomikamoshita

Sejarah dari Kintsugi 

Meskipun asal-usul teknik ini tidak sepenuhnya dapat dipastikan, seni ini sejak lama memiliki hubungan erat dengan tradisi upacara minum teh di Jepang, atau chanoyu. Para sejarawan meyakini bahwa cara ini mulai muncul pada akhir abad ke-15. 

Menurut cerita yang berkembang, praktik ini berawal ketika Shogun Jepang, Ashikaga Yoshimasa, mengirimkan mangkuk tehnya yang retak ke Tiongkok untuk diperbaiki. Namun, ketika mangkuk itu dikembalikan, ia kecewa karena perbaikannya menggunakan staples logam yang terlihat tidak enak dipandang. Dari kekecewaan inilah, para pengrajin di negeri matahari terbit ini mencari cara perbaikan yang lebih indah dan estetis, hingga akhirnya lahirlah kintsugi.

Potret Ashikaga Yoshimasa di Abad ke-15. Sumber: Wikimedia Commons, Public domain

Memasuki abad ke-17, kintsugi telah menjadi praktik yang umum di Jepang. Louise Cort, kurator keramik di Freer Gallery of Art dan Arthur M. Sackler Gallery, menjelaskan bahwa pada masa itu, bahkan ada seorang pejuang Jepang yang dikenal karena membeli mangkuk teh biasa, memecahkannya, lalu memperbaikinya dengan teknik unik tersebut untuk kemudian dijual kembali demi keuntungan. 

Hal ini menunjukkan bahwa pada awal abad ke-17, kintsugi bukan hanya teknik perbaikan, tetapi juga telah menjadi cara untuk menghias dan memberi nilai tambah pada keramik, khususnya dalam konteks budaya minum teh.

Menerapkan Filosofi Kintsugi dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam bukunya Kintsugi Wellness, Candice Kumai menjelaskan bahwa filosofi di balik teknik ini juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kintsugi bukan hanya tentang memperbaiki benda yang rusak, tetapi juga tentang bagaimana kita merawat dan menerima diri sendiri. Penerapan ini bisa dimulai dengan menerima ketidaksempurnaan, sebuah prinsip yang dalam budaya Jepang dikenal sebagai wabi-sabi. Artinya, melihat keindahan dalam hal-hal yang tidak sempurna dan tidak selalu berjalan sesuai harapan.

Selain itu, kita diajak untuk mengubah cara pandang terhadap kesulitan, bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai peluang untuk tumbuh. Menjaga hubungan yang hangat dengan orang-orang di sekitar juga menjadi bagian penting dari proses pemulihan, sekaligus memperkuat makna hidup yang kita jalani.

Mangkuk keramik hitam yang telah diperbaiki dengan teknik kintsugi. Sumber: BBC

Seni Kintsugi di Era Modern

Di masa kini, seni kintsugi terus hidup dan berkembang lewat tangan-tangan kreatif seniman dari berbagai penjuru dunia. Baik di Jepang maupun di luar negeri, tradisi kuno ini tetap dipertahankan, bahkan diberi napas baru dengan pendekatan yang lebih eksperimental. Salah satu contohnya seperti seniman Tomomi Kamoshita dan Yee Sookyung mengangkat filosofi kintsugi ke dalam karya keramik mereka, menghadirkan perpaduan antara teknik tradisional dan eksplorasi bentuk yang lebih kontemporer. 

Seni kintsugi dalam bentuk anting. Sumber: instagram.com/tomomikamoshita

Sementara itu, seniman seperti Elisa Sheehan, Rachel Sussman, dan Tatiana Freitas mengeksplorasi bentuk yang lebih tidak biasa dengan menerapkan semangat kintsugi ke media alternatif seperti kanvas dan instalasi seni.

Melalui pendekatan ini, mereka tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga membuka ruang baru bagi kintsugi untuk terus relevan dalam lanskap seni modern.

Penerapan kintsugi untuk seni instalasi. Sumber: instagram.com/tatianefreitastudio

Baca juga tulisan menarik lainnya https://written.id/seni/sots-art-ketika-narasi-sejarah-bersuara-lewat-kanvas/

SHARE :
WhatsApp
Facebook
Twitter
Email
Artikel Lainnya