Bagi pencinta puisi dan prosa, kegiatan spoken word bisa jadi safe space untuk melepaskan kreativitas merangkai kata penuh rasa. Di Pulau Dewata sendiri wadah itu sudah tercipta: Unspoken Poetry Slam Bali.
Kegiatan yang diprakarsai oleh Virginia Helzainka, Doni Marmer, dan Trifitri Muhammaditta (Ditta) ini sudah rutin dihelat di berbagai daerah di Bali. Written mengobrol singkat dengan co-founder Ditta tentang kegiatan dan kecintaan mereka terhadap seni spoken word.
Gimana awalnya bertemu dan menjadi co-founder kegiatan spoken word?
Tahun 2017, kami bertemu karena sama-sama volunteer di Ubud Writers & Readers Festival dan kebetulan kita bertiga menyukai puisi/spoken word. Sejak saat itu, kami tidak pernah absen menyambangi UWRF Poetry Slam sampai-sampai Doni memenangi UWRF Poetry Slam 2015 dan Virgi memenangi Women’s Poetry Slam pada beberapa tahun berikutnya.
Lalu kawan-kawan spoken word dari berbagai negara mendorong kami untuk memulai kegiatan poetry slam rutin untuk memperkenalkan dan meningkatkan minat terhadap spoken word poetry.
Apa tujuan jangka panjang dalam mengadakan kegiatan poetry slam?
Tentunya, kami berharap bahwa spoken word poetry atau poetry slam lebih banyak dikenal oleh masyarakat atau pegiat sastra sehingga bisa menumbuhkan dan mendorong minat untuk menulis serta keberanian untuk menampilkan karya puisinya.
Menurut kamu, apa yang paling menarik dari poetry slam?
Melalui Unspoken Poetry Slam, kami ingin memberikan sebuah wadah atau safe space yang lepas dari prasangka sehingga siapapun bisa mengungkapkan rasa atau pikiran melalui puisinya. Kami pun tidak menolerir segala bentuk SARA, homophobia, atau xenophobia, dan segala bentuk diskriminasi lainnya. Oleh karena itu, puisi-puisi yang sering disampaikan memiliki “raw feeling“.
Biasanya, pembacaan puisi yang sering kami dengar membawakan puisi-puisi karya orang lain atau membacakan puisi-puisi yang menggunakan rima, kiasan, dan karakterisasi puisi lainnya. Dalam spoken word poetry—yang memiliki “raw feeling” itu—yang dibawakan lebih ke karya orisinal sang pembaca dan tidak terpaku pada karakteristik puisi pada umumnya.
Namun penampilan di atas panggung, cara pembacaan, dan penghayatanlah yang bisa membantu memberikan “nyawa” kepada puisinya. Hal inilah yang membuat spoken word poetry menjadi hal spesial untuk kami.
Apa saja aturan dari acara spoken word?
Waktu yang diberikan adalah tiga menit dan waktu akan dimulai pada kata pertama yang diucapkan oleh pembaca. Kemudian, puisi yang dibacakan WAJIB puisi karya sendiri. Lalu musik dan/atau properti apapun tidak diperbolehkan.
Keempat, performa/pembacaan sang pembaca akan dinilai oleh juri dengan skor mulai dari yang terendah 0.0 sampai dengan 9.9; dan juri akan dipilih secara acak dari bangku penonton.
Pada acara Unspoken Poetry Slam, kami seringkali memberikan tema kepada para poets untuk memastikan bahwa puisi yang ditulis adalah milik sendiri. Tema-tema yang pernah kami berikan termasuk dreams, anger, dan misery.
Sudah dihelat di mana saja kegiatan Poetry Slam? Bagaimana respon dan keterlibatan orang-orang dari tiap daerah?
Beberapa tahun belakangan, tempat yang selalu kami tuju untuk Poetry Slam adalah Singaraja, Ubud, Sanur, dan Denpasar. Tapi untuk open mics kami seringkali menyambangi daerah lain seperti Canggu atau Seminyak. Ke depannya, kami ingin coba daerah-daerah lain seperti Negara, Tabanan, dan Klungkung untuk memperkenalkan spoken word poetry.
Masing-masing daerah selalu kedatangan cukup banyak poets, bahkan bisa dibilang tingkat partisipasinya hampir sama rata.
Pengalaman paling standout terjadi setiap kali kami ke Singaraja. Karena mayoritas teman-teman poets yang turut serta adalah kalangan mahasiswa, terutama dari Komunitas Mahima. Dan keunikan dari para poets di Singaraja adalah puisi-puisi yang dibacakan seringkali berhubungan dengan hubungan antara orangtua atau kekasih (ada juga yang bahas di friend-zone), bahkan kehidupan perkuliahan. Kadang bikin kami merasa seperti muda lagi!
Apa yang mesti diperhatikan saat menulis sebuah puisi/prosa supaya kuat dan bisa “dirasakan”?
Rasakan emosi itu; biarkan mengalir jangan di tahan dan lanjutkan arusnya ke tulisan lalu tuang semua yang dirasakan. Dan biarkan kembali lagi saat sudah berniat untuk menulis, dari coretan emosi tadi, semua rasa mulai diarahkan ke visi mau di bawa ke mana dan cerita apa yang ingin disampaikan. Lalu bacakan—outloud. Atau direkam, dan didengarkan kembali. Dan dirasakan kembali.
Siapa figur favorit atau yang paling memorable sejauh ini baik dari cara pembawaan serta konten puisi?
Sulit sekali untuk bisa berbagi siapa figur favorit atau yang paling memorable karena semua poets memiliki keunikan dan ciri khas masing-masing. Mungkin, salah satu yang paling memorable adalah ketika Kadek Kayu Hujan, seorang anak laki-laki yang jadi poets paling muda yang pernah naik ke atas panggung pada helatan UWRF Poetry Slam dan merupakan Top 3 Poets.
Apakah ada spoken word legend baik lokal maupun mancanegara yang menginspirasi kalian?
Banyak ya. Kalau internasional ada Harry Baker, pemenang poetry slam sedunia. Dari negara tetangga ada Zohab Zee Khan, atau yang lebih jauh di Amerika ada Sarah Kay. Semuanya free styler dan permainan rimanya sangat kuat.
Dari Indonesia sendiri ada Ayu Meutia (yang sudah publish dengan Gramedia), Putri Minangsari, dan Bagus Ari Saputra asal Bali. Dan yang kemarin baru menang Slam Champion 2023 ada Lizzie Chan dan Bay Lesmana.
Bagi orang yang ingin ikut serta tapi demam panggung, tip apa yang bisa kalian bagi?
Never be afraid. Just take a deep breath and count to ten. Never be afraid to share your unspoken thoughts on an unspoken stage. We are here to hear you, not judge you. We are here to support you, not belittle you.
Apa rencana ke depannya?
Rencana ke depan, of course, more poetry slams, more open mics, more workshops, and hopefully a writer’s camp!
Head to our Instagram or Facebook @unspokenpoetryslam for more updates.