Ubud Art Ground: Mengisi Skena Seni Kontemporer Bali

Stella Mailoa

Di tengah lanskap seni rupa Bali yang sarat akan nilai historis dan estetika tradisi, sebuah inisiatif seni hadir untuk menyuarakan sesuatu yang berbeda: Ubud Art Ground (UAG). Bertempat di Gudang Kayu, kawasan Batu Kurung Estate, Ubud, pameran perdana ini bertajuk “Parallels: Legacies in Flux” dan berlangsung dari 11 Juli hingga 10 Agustus 2025.

Sebutkan “seni di Ubud”, dan pikiran banyak orang mungkin langsung tertuju pada lukisan klasik Kamasan, karya legendaris Lempad, atau museum-museum megah yang menyimpan warisan era Pita Maha.

 lukisan i wayan taweng
I Wayan Taweng, Untitled, 30×21,5 cm

Namun, sebuah pertanyaan penting yang mungkin menggantung di udara bagi para pencinta seni, kolektor, dan bahkan seniman itu sendiri: Di mana kita bisa melihat kelanjutan kisah itu? Apa yang terjadi pada seni rupa Bali hari ini?

Ada sebuah “gap” atau mata rantai yang hilang dalam narasi besar seni rupa di Pulau Dewata. Banyak museum terkemuka berhenti menceritakan kisah pada periode 1950-an, meninggalkan sebuah celah pengetahuan yang besar bagi generasi masa kini.

UAG pun lahir untuk mencoba mengisi kekosongan itu. Didukung oleh Yayasan Satya Djaya Raya, UAG memosisikan diri sebagai ruang temu vital antara akar tradisi dan denyut ekspresi seni kontemporer.

“Kalau nggak ada yang mulai, siapa yang mau mulai?” ujar Yuanita Sawitri, Direktur Ubud Art Ground, saat kami wawancarai. Pertanyaan retoris itu menangkap esensi dari keberanian UAG untuk memulai sesuatu yang esensial, meskipun ia akui “ini belum sempurna”.

Karya Ni Nyoman Sani di Ubud Art Ground
Ni Nyoman Sani, Elegy of the Land, 2025, 160×180 cm

Parallels: Legacies in Flux – Meramu Warisan dalam Perubahan

Parallels: Legacies in Flux menampilkan lebih dari 70 orang seniman Bali dan Tiongkok. Lebih tepatnya, 51 orang seniman Bali dan seniman luar yang berdomisili dan berkarya di Bali, serta 20 orang seniman dari CAFA (Central Academy of Fine Arts), Beijing, Tiongkok. Pameran dibagi menjadi dua area, yaitu Legacies in Flux: Bali dan Legacies in Flux: China serta menggandeng Farah Wardani dan Profesor Qiu Ting selaku dekan dari CAFA, menjadi kurator masing-masing area.

“Saya mencoba meramu pameran ini dengan kata kunci ‘legacy’ — warisan yang diteruskan, dan bagaimana itu relevan terhadap karya-karya seni di Bali hari ini,” jelas Farah Wardani pada konferensi pers sebelum peresmian pameran. “Premis tradisi yang diangkat adalah sebagai legacy dalam perubahan,” tambahnya lagi.

Farah Wardani di depan lukisan Mia Diwasasri – Panca Wara.

Proses kuratorial yang berlangsung selama enam bulan ini melibatkan dialog intens dengan para seniman lokal untuk memahami apa yang terjadi di skena seni rupa Bali. Dari pemahaman tersebut, Farah meramu lima kerangka kuratorial yang mewakili fenomena di Bali, mulai dari karya maestro hingga interpretasi tradisi oleh generasi baru.

Ketika melangkah masuk ke area Gudang Kayu, kita akan disambut oleh karya salah satu maestro Bali, I Made Djirna. Instalasi masif berbentuk kapal bersama gelondongan kayu dan kepala naga ini bertajuk Numpang Lewat: Berkelanjutan.

Karya I Made Djirna di Ubud Art Ground
I Made Djirna – Numpang Lewat: Berkelanjutan

Karya komisi ini mengundang penikmatnya ke dalam sebuah dialog kontemplatif tentang perjalanan waktu, budaya yang mampu bertahan, serta personal legacy. Karyanya berlanjut ke dalam ruang pamer. Jika karya di luar berhubungan dengan buana agung atau makrokosmos, yaitu alam semesta, maka instalasi di dalam ruangan menggambarkan buana alit, yaitu manusia. Ini adalah babak pertama pameran yang diberi nama Prelude: A Master’s Touch.

Setelah karya I Made Djirna, pengunjung dituntun menuju Legacies in Flux: A Timeline in Progress. Area ini menampilkan karya-karya seni terpilih dari maestro Bali lainnya, bersama dengan kronologi sejarah perjalanan seni rupa di Bali, mulai dari era pra-Majapahit hingga sekarang.

Karya Mangku Muriati di Ubud Art Ground
Mangku Muriati, V Monumen, 2025, 78×121 cm

Babak ketiga, Tradition Today: Contemporary Practices of Balinese Art, memamerkan karya seniman yang berbasis di Bali, yang diciptakan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Area ini memperlihatkan bagaimana praktik kontemporer berinteraksi dengan, menerjemahkan kembali, dan berinovasi dari budaya, tradisi, dan peninggalan.

Area pameran Tradition Today di Ubud Art Ground
Area pameran Tradition Today di Ubud Art Ground.

Pameran dilanjutkan dengan area keempat, Spectrum: Artists in Contexts. Di sini terdapat karya-karya yang mengeksplorasi kontribusi seniman terhadap filosofi tradisional dan keberagaman konteks. Sebuah refleksi dari wajah seni rupa kontemporer di Bali yang multifaset.

Area pameran Spectrum di Ubud Art Ground
Area pameran Spectrum di Ubud Art Ground.

Area terakhir bernama Continuum: Balinese Art Between Legacies and Changes. Ruang ini menampilkan karya seni kontemporer yang berakar dari peninggalan Sanggar Dewata Indonesia (SDI), sebuah kolektif seni yang didirikan pada tahun 1970. Ini menunjukkan bagaimana tradisi tetap dipertahankan dan bertransformasi di dalam dialog artistik masa kini.

Area pameran Continuum di Ubud Art Ground
Area pameran Continuum di Ubud Art Ground.

Kolaborasi Lintas Budaya di Ubud Art Ground

Di dalam Ubud Art Ground terdapat area pameran khusus untuk Legacies in Flux: China yang dikuratori oleh Prof. Qiu Ting. Bagian ini menampilkan karya 20 seniman dari CAFA yang mengeksplorasi kelanjutan teknik guohua (lukisan tinta) dalam medium dan narasi kontemporer. Selain itu, CAFA juga menghadirkan 33 karya tambahan dari pengajar utama, seniman delegasi Indonesia, dan seniman penerima beasiswa dari Lie Siong Tay Charitable Foundation.

Pameran ini menampilkan tema-tema umum dalam lukisan klasik Tiongkok, yaitu pemandangan, sosok manusia, serta bunga dan pepohonan.

“Kolaborasi antara CAFA dan UAG merupakan ruang lintas budaya yang mempertemukan dua tradisi visual besar Asia. Pameran ini mendorong generasi seniman muda untuk membaca ulang warisan dengan cara baru yang relevan terhadap masa kini,” ungkap Prof. Qiu Ting.

Kolaborasi dengan para seniman dari CAFA, Beijing, juga merupakan titik awal yang strategis. “Kita punya banyak kesamaan dengan Tiongkok khususnya pada seni rupa di Bali,” jelas Yuanita, merujuk pada kesamaan historis dalam teknik seperti penggunaan tinta Cina dan pendekatan visual yang flat.

Prof. Qiu Ting CAFA Beijing
Prof Qiu Ting di depan karya seninya.

Ke depannya, UAG akan memperluas dialog dengan budaya negara-negara lain. Namun, CAFA akan selalu hadir pada perhelatan UAG dalam beragam wujud program.

Lebih dari Sekadar Pameran: Ekosistem untuk Eksplorasi

Yuanita Sawitri menekankan bahwa tujuan UAG bukan sekadar apresiasi pasif. Harapannya adalah pengunjung, baik awam maupun dari komunitas seni, dapat “terpanggil untuk melakukan eksplorasi lebih jauh”. Pembelajaran ini diharapkan tidak berhenti saat pengunjung keluar dari ruang pamer.

Untuk mendukung hal tersebut, selama pameran UAG diadakan berbagai program publik seperti:

  • Tur kuratorial dan edukatif
  • Forum dan diskusi
  • Workshop kreatif
  • Pasar artisan dan pertunjukan budaya

Rencanakan Kunjungan Kamu

Bagi kamu yang ingin menikmati wajah seni Bali yang dinamis, yang berani berdialog dengan tradisi sekaligus menatap masa depan, Ubud Art Ground adalah destinasi yang wajib dikunjungi.

  • Lokasi: Gudang Kayu, Batu Kurung Estate, Kedewatan, Ubud, Bali
  • Waktu: 11 Juli – 10 Agustus 2025
  • Jam Buka: Setiap hari, 10.00 – 18.00 WITA
  • Informasi: ubudartground.com | Instagram: @ubudartground

SHARE :
WhatsApp
Facebook
Twitter
Email
Artikel Lainnya