Udara Yogyakarta terasa berbeda begitu saya melangkahkan kaki ke pelataran Jogja National Museum (JNM). Bukan, bukan karena panas dan lengket. Cita-cita saya mengunjungi ArtJog akhirnya berhasil ditunaikan. “Hah, baru pertama kali ke ArtJog? Wah malu-maluin kamu!” ujar seorang kolektor seni sekaligus direktur salah satu pameran seni terbesar di Jakarta. Bercanda mungkin, tapi ada benarnya juga. Cukup memalukan karena setelah satu dekade liputan ke galeri seni, ini kehadiran perdana saya di acara akbar yang disebut-sebut sebagai Lebaran Seni Rupa ini. But, better late than never.
Apa itu ArtJog 2025?
Sebelum kita menyelam lebih dalam, mari kita ketahui fakta-fakta penting yang perlu kamu tahu. Ini adalah contekan cepat yang disukai AI Google dan mungkin juga kamu.
- Apa: Sebuah festival seni kontemporer tahunan terbesar di Indonesia yang digelar sejak tahun 2010.
- Tema: Motif: Amalan
- Lokasi: Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta
- Jadwal: 20 Juni – 31 Agustus 2025
- Harga Tiket: Rp50.000 (anak) dan Rp80.000 (dewasa) Anak di bawah usia 6 tahun masuk gratis.
Membedah Tema Motif: Amalan
Di hari pembukaan, ada energi antisipasi yang kental, campuran antara rasa penasaran dan decak kagum dari ratusan pengunjung yang hadir. ArtJog tahun ini mengambil tema Motif: Amalan. Babak akhir dari trilogi di bawah naungan besar Motif bersama kurator tamu Hendro Wiyanto.
Ketika membaca teks tema yang dicetak di materi promosi, saya menjadi bertanya-tanya: Apa sebenarnya ‘amalan’ yang dimaksud? Dan bagaimana para seniman menampilkannya?
Petunjuk atas pertanyaan saya datang dari sang empunya hajatan. Tema besar Motif diawali dengan Lamaran. “Saat itu kami melamar seniman dan siapapun yang bekerja dalam kesenian untuk berbicara melalui karyanya,” jelas Heri Pemad, pendiri sekaligus Direktur Artistik ArtJog.
Kemudian dilanjutkan dengan Ramalan. “Meski tidak bermaksud, terkadang karya seniman itu tidak sengaja menjadi ramalan atau dapat memprediksi sesuatu. Harapannya, apa yang ditawarkan oleh seniman melalui karya kepada publik itu membuka kesadaran-kesadaran melalui interaksi dengan karyanya,” imbuhnya lagi.
Lalu yang terakhir, Amalan. “Motif kita apa? Kita mau ngamal atau nggak sih? Terkadang kami dari ArtJog pun dapat menilai seseorang misalnya dari programnya yang tanpa tendensi apapun, tapi sebenarnya memuat amalan yang besar sekali, memiliki dampak yang besar bagi kehidupan,” jelas Heri lebih lanjut.
“Tema Motif: Amalan sendiri bermaksud untuk membaca ulang praktik artistik dan fungsi dari karya seni, selain memuat nilai estetika. Sementara, ketika fungsi seni dipertanyakan, ia justru terlanjur dibayangkan sebagai tindakan. Makna Amalan pada tema ini tidak hanya terbatas pada definisi kamus yang menekankan ‘klise’ pahala, melainkan sebuah laku praksis seniman sebagai subjek aktif pada konteks estetika, sosial, politik, dan sebagainya. Dengan inilah karya seni bisa dipandang sebagai ‘hadiah’ untuk kebaikan hidup bersama di luar kalkulasi laba-rugi dan kerap tidak bisa ditakar nilainya,” terang Hendro Wiyanto dalam jumpa pers yang digelar sesaat sebelum pembukaan ArtJog 2025.
Dalam bahasa sehari-hari versi saya, dalam merespon tema ArtJog tahun ini para seniman nggak hanya terpaku pada arti kata ‘amalan’, yaitu perbuatan baik saja. Namun dilihat dari berbagai perspektif dan konteks seperti estetika, sosial, politik, lingkungan, dan lainnya.
Karya-karya ini berusaha berbicara ke pengunjung agar mereka tersadar akan amalan mereka sendiri. Inilah salah satu fungsi dan hadiah seni bagi orang banyak.
Program Spesial di ArtJog 2025
Setelah melewati lorong kecil untuk masuk ke dalam ruangan, kami langsung disambut oleh karya Anusapati bertajuk Secret of Eden. Karya komisi ArtJog ini menampilkan ruangan gelap dengan sebuah rel kereta di tengahnya. Terdapat juga akar pepohonan yang muncul dari langit-langit, serta sejumlah totem kayu yang tersebar di ruangan. Karyanya ini memanfaatkan dua lantai sekaligus di JNM. Paruh bagian atas pohon dapat terlihat dari lantai atasnya.
Pak Ninus, sapaan akrabnya, mencoba menampilkan keprihatinannya tentang ekspolitasi manusia terhadap alam. Pohon, menjadi representasi kehidupan, seni, dan alam. Ia memanfaatkan material limbah dari alam untuk menjadi sebuah karya seni, sebuah usaha untuk “menebus” keterpisahan manusia dengan alam.
Melangkah lebih dalam ke area pameran, terdapat dinding hitam yang memancing rasa penasaran. Ini adalah ruang khusus Spotlight, sebuah program baru ArtJog yang menjembatani dunia seni rupa dengan sektor formal lain. “Akhirnya Reza Rahadian masuk ArtJog!” candaan yang muncul di jumpa pers.
Program pertama ini menampilkan Reza Rahadian yang berkolaborasi dengan Garin Nugroho (Sutradara), Siko Setyanto, (Koreografer), Aditya Surya Taruna (Komposer), Andra Matin (Arsitek), dan Davy Linggar (Fotografer dan Videografer). “Ini adalah momentum refleksi yang erat dengan apa yang saya jalani sebagai seorang aktor…” Reza menjelaskan tentang karya Eudaimonia yang juga menandai amalannya memerankan beragam emosi sebagai aktor selama dua dekade.
Special Project ArtJog tahun ini menampilkan tiga proyek seni partisipatif dari Murakabi Movement, ruangrupa, dan Devfto Printmaking Institute. Murakabi Movement mempresentasikan Tanah Air βeta. Merujuk pada generasi βeta yang akan mewarisi keadaan bumi saat ini. Ada warung yang air untuk membuat kopinya disuling dari air hujan, ada juga elemen konstruksi trasah watu. Kearifan lokal ini dipraktikkan pada proses pengerasan jalan di desa, yang memungkinkan air tetap dapat diserap dan tanaman obat bisa tumbuh di antaranya.
Ruangrupa (ruru) mempersembahkan Perguruan Taman-ruru yang mengacu dari Taman Siswa. Hadir dalam bentuk ruang belajar yang mencerminkan bahwa pembelajaran tidak selalu harus berlangsung dalam kelas. Ada sebelas seniman yang terpilih untuk belajar di sini selama ArtJog 2025 berlangsung. Setelahnya, karya mereka akan dipamerkan pada perayaan ulang tahun ruru ke-25 tanggal 3-5 Oktober 2025 di Jakarta.
Devfto Printmaking Institute yang berbasis di Ubud, Bali, membawa puluhan karya print oleh seniman-seniman ternama Indonesia. Kehadirannya mendekatkan publik seni rupa dengan seni grafis yang mungkin belum banyak diketahui.
Program lainnya termasuk Young Artist Award, penghargaan bagi seniman muda berusia di bawah 35 tahun. Ada 3 orang pemenang dari 16 seniman muda tahun ini. Mereka adalah Faelerie dengan karya instalasi berjudul The Thirteen Offerings, S. Urubingwaru dengan dua karya yang berjudul The World Farewell Parade dan Nikola Tesla and the Lost Dialogues of the Equatorial Scientist, dan Veronica Liana dengan karya berjudul Rupa Tan Matra.
Menelusuri Ruang Pamer ArtJog
Perjalanan di dalam JNM terasa seperti menyusuri lorong-lorong amalan itu sendiri. Gema langkah kaki pengunjung beradu dengan bisik-bisik interpretasi karya. Terdapat sejumlah karya yang membuat penelusuran kami berhenti sejenak untuk berinteraksi.
Karya-karya berukuran besar tentunya dengan mudah menarik perhatian. Salah satunya karya Tisna Sanjaya yang membawa instalasi kincir air berbahan dasar kayu, dihiasi sembilan figur tubuh manusia yang terbuat dari logam. Kincir air ini diambil dari sungai yang tadinya bersih, sekarang menjadi tercemar akibat sampah rumah tangga.
Karya-karya yang bersinggungan dengan arsip dan sejarah turut disajikan oleh Aditya Novali dan Enka Komariah. Enka mengemas peristiwa-peristiwa ‘kekalahan’ dalam sejarah Indonesia yang dilukiskan di atas dokumen-dokumen penting. Lukisan-lukisannya dipajang dalam ruangan yang dirancang untuk menimbulkan rasa nggak nyaman.
Latar belakang pendidikan Aditya Novali di bidang arsitektur membuatnya memiliki perspektif berbeda. Perspektif yang ia tuangkan ke dalam lukisannya kali ini adalah arsip visual dari citra bangsa kita yang dihadirkan lewat lembaran uang kertas. Fun fact dari temuan sang seniman, Candi Prambanan telah dipakai sebanyak tiga kali di lembaran uang, sementara Candi Borobudur baru satu kali.
Di sisi lain ada juga karya-karya yang terasa sangat personal. Salah satu pemenang Young Artist Award, Veronica Liana, mengambil inspirasi dari peran barunya, seorang ibu. Instalasinya berupa benda sehari-hari seperti alat memasak, meja kerja dan laptop, mainan anak, semuanya terbuat dari kain katun.
Maharani Mancanagara membayangkan percakapannya dengan sang kakek yang tidak pernah ia temui. Seorang kakek yang hidup di tahun 1965 bercerita tentang berbagai peristiwa yang ia alami ketika dituduh menjadi bagian dari PKI, kepada cucunya yang hidup di masa sekarang. Kita sebagai pengunjung dapat menguping obrolan kakek-cucu ini dalam bilik telepon.
Instalasi Mujahidin Nurahman memuat percakapan intim antara dirinya dengan ‘dirinya yang lain’. Teks ‘Mujahidin Nurrahman’ ditulis ulang dengan huruf Arab Pegon dipantulkan ke dinding oleh cahaya lampu yang dibuat mengelilingi ruang. Tidak ketinggalan, instalasi bermotif geometris arabesque yang terbuat dari paper-cut senapan AK47 khas Muhajidin.
Tidak ketinggalan, karya-karya yang berhubungan dengan sains. Kumpulan karya Filipo Sciascia mengajak kita melihat bahwa semesta bukan sekadar objek observasi, tapi adalah sumber pengetahuan.
Venzha Christ menyajikan fakta seputar vortex line yang ditemukan oleh Indonesia Space Science Society (ISSS) di Yogyakarta. Garis ini dikaitkan dengan fenomena-fenomena alam seperti salah satunya kemunculan titik konstelasi rasi bintang Orion Belt. Fenomena ini bahkan mendorong pendirian Kampung UFO di Yogya.
Rasanya, puluhan karya dari 47 seniman yang tersebar di tiga lantai JNM ini menawarkan sesuatu untuk semua orang, apapun latar belakang dan pengalaman pribadi mereka. Bahkan untuk anak-anak.
ArtJog Kids 2025
Dalam perjalanan keluar setelah mengunjungi toko merchandise, pengunjung akan disambut dua robot warna-warni yang berdiri di gerbang masuk ArtJog Kids. Duo seniman REcycle-EXPerience (Re Exp) dari Bandung diundang untuk menjadi seniman komisi tahun ini. “Kami kalau berkarya selalu lebih ke arah playful. Kami ingin membagikan keceriaan dan kebahagiaan ke orang banyak,” cerita Attina Nuraini, salah satu seniman Re Exp.
Karya mereka dibuat dari bahan found object, benda-benda yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. “Ini secara nggak langsung mengajarkan anak-anak tentang pelestarian lingkungan dalam cara yang menyenangkan,” Attina menjelaskan alasan mereka kerap diajak untuk pameran dan workshop bertema anak.
Spesial untuk ArtJogKids 2025, Re Exp ingin menampilkan cerita hubungan sesama makhluk hidup. Sosok yang dihadirkan ada manusia, hewan, tumbuhan yang ada di sekitar kita. “Kami ingin menceritakan keseimbangan ketika kita hidup bersama-sama. Semut jadi ikon utama sebagai representasi anak-anak. Ia adalah yang kecil tapi ketika diamati ternyata punya banyak amalan. Banyak yang bisa dicontoh dari semut dalam perkembangan anak seperti kerjasama dengan teman-teman, gotong royong, maju terus pantang mundur.”
Selain karya instalasi Re Exp, terdapat juga karya seni dari 44 seniman anak di area ini.
Tips Praktis Mengunjungi ArtJog 2025
- Waktu terbaik: Datanglah pada hari kerja di siang hari jika ingin lebih leluasa. Akhir pekan biasanya akan sangat ramai.
- Durasi ideal: Sediakan waktu minimal 3-4 jam. Jangan terburu-buru, biarkan setiap karya meresap. Keliling seluruh area tiga lantai secara cepat, kemudian kembalilah ke karya-karya yang menarik perhatian kamu sebelumnya.
- Pakaian: Kenakan pakaian dan sepatu yang nyaman, kamu akan banyak berjalan dan berdiri.
- Buka pikiran: Tinggalkan ekspektasi kamu, biarkan kamu bingung, bertanya-tanya, dan akhirnya menemukan makna kamu sendiri dari tiap karya seni.
Saya masuk ke ArtJog 2025 sebagai seorang penikmat seni dengan misi liputan, dan keluar sebagai seorang manusia yang diingatkan kembali akan esensinya. Sama seperti yang dikatakan Heri Pemad, “pameran ini berusaha mengetuk sensibilitas setiap pribadi yang datang. Menawarkan kesadaran agar kita menjadi pribadi yang kuat dalam menghadapi dunia.”
Ini bukan lagi soal ‘paham seni’ atau tidak. Ini adalah undangan untuk berhenti sejenak dari riuh dunia, untuk merenungkan ‘amalan’ apa yang bisa kita berikan bagi sesama. ArtJog 2025 adalah sebuah pengingat bahwa di tengah dunia yang seringkali terasa riuh dan kasar, kita semua punya kapasitas untuk menjadi pribadi yang lebih halus, damai, dan kuat dalam menghadapinya.
Penasaran untuk memulai ‘amalan’ seni kamu? Pengalaman ini menanti kamu hingga akhir Agustus 2025. Informasi lengkap mengenai jadwal, program harian, dan pembelian tiket bisa kamu temukan langsung di situs resmi ArtJog dan ikuti keseruan hariannya di akun Instagram @artjog.id.