Dua minggu yang lalu saya iseng menyorot rombongan bocah-bocah outskirts yang baru turun kereta Commuter Line asal Citayam dengan gaya “si paling tampil” di Insta Story saya. Ketika itu, fenomena bocah Citayam yang asyik mejeng di area Stasiun Dukuh Atas lagi seger-segernya.
Konten-konten “live report” masih dinanti-nanti, tingkat rasa penasaran warganet akan aneka ria, bentuk rupa, dan budaya adik-adik remaja pinggiran Jakarta itu juga lagi tinggi-tingginya. Maklum, sebelum eksodus tongkrongan Sudirman Citayam Bojonggede Depok (SCBD) ini lahir, lanskap ruang publik di jantung kota yang kerap disebut “kayak di luar negeri” ini masih sepi pengunjung.
Pemandangan yang biasa terlihat hanyalah pekerja-pekerja metropolitan yang lalu lalang keluar masuk stasiun, rombongan foto pre-wedding atau shooting katalog, dan segelintir warga yang asyik duduk-duduk, pacaran, atau melamun. Nggak ada preman atau oknum yang bakal nyamperin, minta duit rokok, atau nyuruh bubar. Bebas.
Dari Instagrammable Jadi InstagramSebel
Saking bebasnya, fenomena hiruk pikuk area Stasiun Dukuh Atas yang dibanjiri bocah-bocah outskirts sudah bablas mencapai titik “PETJAHH”–mengutip gaya berbahasa anak “JakSel” 10 tahun lalu atau “ANJHIAY” kalau pakai bahasa anak Citayam. Umat manusia dari berbagai kalangan tumpah ruah membanjiri kawasan yang dulu tenang dan Instagrammable, kini jadi InstagramSebel.
Gimana nggak sebel? Mendadak area Dukuh Atas dan timeline media sosial dipenuhi sosok-sosok oportunis “si paling berani tampil beda” yang sejatinya nggak mau kalah sama anak-anak pinggiran yang viral lewat konten “Citayam Fashion Week” (ironis karena acara ini berlangsung berminggu-minggu entah sampai kapan ujungnya.)
Fear of Missing Out. Mulai dari brand, selebriti, content creator, sampai korporasi berlomba adu cepat untuk tap in, “merangkul”, dan menggaet bocah-bocah yang mayoritas berasal dari desa-desa di kabupaten Bogor dan sekitarnya. Alih-alih “merayakan” kebebasan adik-adik remaja kota pinggiran dalam berekspresi (baik dalam segi berbusana hingga berbicara), padahal udang di balik batu di sini tak lain sekadar numpang viral by being in the scene.
Kehadiran Non Citayam Native
Alih-alih menjadikan mereka sebagai “ikon” atau bahkan “local heroes”, selebrasi yang dirayakan di sini terkesan dibuat-buat. Andai panorama bocah-bocah outskirts itu tidak viral di media sosial dan mereka memilih menginvasi area borjuis paling gaul di Senopati, apakah mereka masih disebut “local heroes” dan sambutannya masih “seramah” dan “seheboh” ini?
Berlebihan nggak, kalau saya bilang fenomena ini seperti kompeni yang kaget lihat inlander bikin atraksi topeng monyet? Bedanya, kumpeninya FOMO ikutan atraksi, biar kelihatan “membumi” dan disorot khalayak ramai.
Dari kacamata saya sebagai orang sinis, saya melihat ada ketidak-tulusan dari gegap gempita selebrasi ina-itu yang dihujankan kepada adik-adik pinggiran Jakarta ini. Apa benar warga Jakarta kelas menengah dan atas yang mayoritas terkenal judgmental terhadap penampilan yang melawan konformitas, mendadak mengapresiasi tren fashion ala “Citayam Fashion Week” yang sebelumnya dibilang kampungan, alay, dan “jamet”?
Apa jangan-jangan apresiasi ini semu belaka atas nama FOMO, #semuabisadicuanin dan #positivevibesonly? Lalu apa tujuannya makhluk-makhluk non-Citayam native ikutan nimbrung bikin konten hingga area Stasiun Dukuh Atas jadi penuh sesak (namun jadi berkah bagi abang-abang Starling) kalau bukan ingin mendompleng efek virality #CitayamFashionWeek yang sukses diraih oleh Bonge, Jeje, dan kawan-kawan? Wajar kan, kalau area Dukuh Atas sekarang jadi InstagramSebel? It gets too much, it kills all the fun and genuinity. Slebew.
Di Balik Fenomena Viral
Saya yakin, dari puluhan hingga ratusan bocah-bocah pinggiran yang bela-belain dandan maksimal dan datang jauh-jauh buat ngeceng di area Stasiun Dukuh Atas, berawal berbekal harapan pulang-pulang dapat kecengan, sekarang mereka ikut bercita-cita bisa sepopuler Bonge dan ikon-ikon “Citayam Fashion Week” lainnya.
Entah ada berapa banyak adik-adik remaja yang berharap di-scout dan bisa mengikuti jejak Bonge cs untuk viral menjadi pahlawan desa. Bisa di-endorse naik Alphard, didandanin pakai kardigan Gucci, diundang buat activation ina-itu, dibidik brand dan media, sampai direkrut untuk commercial gig perusahaan startup ternama.
Padahal, itu semua adalah reward yang didapatkan atas faktor kebetulan: kebetulan diduitin sama yang punya duit. They did little to nothing, they simply exist and boom! They get the prize. Keberuntungan seperti itu tidak terjadi ke semua orang, dan nggak ada yang bisa menerawang kapan elo ketiban durian monthong, kapan ketiban kelapa busuk.
Semua hal yang viral pasti ada masa kedaluarsanya. Sinta Jojo nggak sengaja viral gara-gara video lipsync lagu Keong Racun, padahal videonya nggak ada “greget-gregetnya”. Briptu Norman viral karena iseng joget lagu India. Padahal sejarah umat manusia mencatat ada ribuan orang joget lagu India, tapi kebetulan dia yang viral.
Caesar juga sempat viral dengan jogetan energiknya. Padahal video senam Vicky Burki nggak kalah energik. Itu segelintir contoh orang-orang yang berawal dari nobody lalu mendadak booming, dan sekarang entah “apose kabare”. Satu kesamaannya, mereka viral sebagai objek pemuas dahaga akan atraksi hiburan warga, setelah bosan mereka ditinggalkan.
Sekarang mungkin mendadak banyak pihak-pihak yang junsos alias terjun sosial pura-pura merangkul dan “mengapresiasi” bocah-bocah SCBD, namun ketika khalayak telah mencapai titik jenuh dan tidak banyak lagi yang bisa dilakukan untuk “menjual” sosok mereka, those aspiring Citayam kids will be doomed.
Ruang Ekspresi dan Kapitalisme
Ruang berekspresi sudah ditunggangi golongan berduit, dan panorama tongkrongan Stasiun Dukuh Atas sudah tidak otentik lagi. Di balik tirai diskusi orang-orang yang sibuk menyusun strategi FOMO tren “Citayam Fashion Week” untuk kepentingan sendiri, niscaya ada nada-nada ironi dan hipokrisi bergema. In this capitalist world, Citayam kids are just a viral object to be commercialised.
Saat ini mereka mungkin tengah merasakan nikmatnya dibanjiri uang kaget dan popularitas yang diboncengi berbagai pihak, tapi ini hanya sementara. Karena uang pasti akan ludes, dan popularitas akan padam.
Kalau tidak punya safety net saat pamor “Citayam Fashion Week” ini mulai redup, yang ada mereka bakal “ketempuhan”. Sedangkan kaum berduit yang nebeng viral tinggal lanjut mencari mangsa objek viral berikutnya.
Terlepas dari fenomena ini, semoga saja baik Bonge cs maupun bocah-bocah pinggiran Jakarta tidak mengejar viral sebagai tujuan hidup. Viral tidak akan bertahan lama seperti karier emak bapak kita yang kerja jadi PNS; sekali PNS sampai pensiun tetap PNS.
Begitu pula dengan makhluk-makhluk oportunis yang numpang viral sambil naikin engagement di media sosial karena tampil “berbaur” di tengah kerumunan pasar “SCBD” di area Stasiun Dukuh Atas.
Bebas berekspresi ya boleh saja, tapi kalau niatnya cuma mau palsu-palsu demi ikutan viral, mau sampai kapan?