Film Review – My Kid Could Paint That (2007)

Sahiri

Siapa yang menentukan suatu karya seni itu fenomenal atau sekadar meh? Pepatah mengatakan, Beauty is in the eye of the beholder, yang bermakna pandangan orang cenderung subjektif. Banyak orang bisa saja anggap sebuah lukisan merupakan masterpiece, tapi saat kamu melihatnya, well, My kid could paint that…

Itulah premis dari film dokumenter My Kid Could Paint That. Film ini mengikuti kisah kontroversial seorang jago lukis yang dielu-elukan sebagai mini Pollock berkat karya lukisan abstrak yang dinilai luar biasa.

Sang pelukis: Marla Olmstead, dan baru berusia 4 tahun. Marla kerap mengamati sang ayah melukis dan tak lama ia pun terinspirasi untuk ikut “corat coret” di atas kanvas. Lantas, an artist is born.

Child Prodigy

Beberapa lukisan Marla sempat terpajang di sebuah coffeeshop yang menarik minat para pecinta seni lokal. Bahkan seorang pemilik galeri pun sempat memamerkan lukisan-lukisan Marla.

Hal tersebut mencuri perhatian surat kabar lokal yang kemudian menulis sebuah profil tentang Marla dan menyematkan label child prodigy, yaitu seseorang yang memiliki bakat alami sejak kecil.

Ketenaran Marla yang sebelumnya hanya berada dalam ruang lingkup kota kelahirannya di Birmingham, New York, tak lama meluas secara nasional. The New York Times ikutan mengangkat cerita Marla, dan ketenaran sang seniman cilik itu pun kian melejit dengan undangan jadi tamu di beberapa program berita televisi dan pameran di beberapa galeri di New York dan Los Angeles.

Berikutnya giliran program televisi populer (pada saat itu), 60 Minutes, melayangkan permintaan untuk garap profil tentang Marla. Orangtua Marla secara antusias mengiyakan—keputusan yang kelak mereka akan sesali.

Alih-alih melejitkan nama Marla sebagai seniman cilik berbakat, justru segmen 60 Minutes menjadi semacam expose kalau bakat Marla sebagai pelukis tak 100 persen “alami”, karena kemungkinan besar sang ayah membantu mempercantik lukisan Marla.

my kid could paint that

Pelukis Pemalu

Berdasarkan beberapa adegan dari dokumenter My Kid Could Paint That (dan dari segmen 60 Minutes), memang ada bagian yang akan mengundang keraguan soal kepiawaian Marla sebagai pelukis.

Ketika disorot oleh kamera, Marla menolak untuk melukis, yang dapat dimaklumi karena ia adalah anak kecil yang pastinya malu dikelilingi oleh orang-orang dewasa. Ia baru bisa mulai melukis saat kamera diam-diam merekam.

Hasilnya? Cukup bagus, tapi anehnya memang tak sebagus lukisan-lukisan abstrak sebelumnya. Apakah ayahnya ada ikut andil mengutak-utik karya Marla? My Kid Could Paint That tidak memaparkan jawaban yang definitif. Jelas orangtua Marla menyangkal tuduhan tersebut, dan mereka tetap percaya kalau anak mereka adalah pelukis yang berbakat.

Sutradara My Kid Could Paint That, Amir Bar-Lev, sempat kecipratan amarah orangtua Marla lantaran awalnya mereka beranggapan Amir memihak mereka soal Marla dan karena itulah ia membuat dokumenter ini. Namun ketika Amir mengutarakan keraguannya (keraguan yang tampilkan dalam film setelah melihat proses melukis dan hasil lukisan Marla) mereka pun merasa terkhianati.

So, could she paint that? Mungkin. Amir memberikan ruang bagi penonton untuk membentuk opini tersendiri. Masih banyak orang yang tetap menganggap Marla sebagai pelukis abstrak yang memiliki potensi, asalkan bakatnya dirawat dan dikembangkan dengan baik. Dan masih ada juga pecinta seni yang rela membeli hasil lukisan Marla seharga ratusan ribu dollar.

Sementara bagi yang skeptis akan melihat Marla sebagai produk dari orangtua yang oportunistik. Yang memanfaatkan bakat Marla untuk keuntungan mereka sendiri. Sayangnya, sang tokoh utama dalam cerita ini tak bisa membela diri. Karena, well, she’s 4 years old.

Memang lucu di tengah segala pujian dan kontroversi di seputar kehidupannya, Marla tak terdampak. Ia adalah anak kecil yang masih tak bisa memproses kejadian di sekitarnya yang melibatkan banyak orang dewasa.

Satu hal yang pasti, she does like to paint..

Kamu bisa tonton langsung My Kid Could Paint That di Prime Video.

SHARE :
WhatsApp
Facebook
Twitter
Email
Artikel Lainnya