Bambang Toko Witjaksono dan Hendro Wiyanto tentang ArtJog 2025

Stella Mailoa

ArtJog 2025 mengambil tema besar Motif: Amalan. Tema ini merupakan yang terakhir dari trilogi Motif. Tema Motif pertama kali diangkat pada tahun 2023, Motif: Lamaran. Saat itu seniman “dilamar” untuk menampilkan karyanya.

Setahun setelahnya disusul dengan Motif: Ramalan. Ketika banyak karya-karya seniman yang secara nggak sengaja menjadi “ramalan” atau mampu memprediksi apa yang terjadi di masa depan. Apa benar nggak sengaja?

Kali ini, untuk tahu lebih lanjut mengenai Motif: Amalan, kami berbincang dengan dua kurator yang berada di baliknya. Yang pertama adalah Hendro Wiyanto, kurator tamu yang mengusung trilogi Motif. Dan Bambang ‘Toko’ Witjaksono, kurator tetap ArtJog.

kurator ArtJog 2025
Bambang ‘Toko’ Witjaksono dan Hendro Wiyanto

Tentang Tema Motif: Amalan ArtJog 2025

Written: Amalan di ArtJog 2025 menutup rangkaian tema selama 3 tahun terakhir. Dapatkan Anda menceritakan momen ketika Anda merasakan konfirmasinya? Sebuah momen yang membuat Anda berpikir “ya, ini alasan kita membuat ‘Amalan'”.

Hendro Wiyanto (HWB): Sebenarnya tidak cuma kata ‘amalan’-nya yang penting, tapi juga ‘motif’-nya. Seperti ArtJog 2023 dan 2024, tidak cuma ‘lamaran’ (2023) dan ‘ramalan’-nya yang perlu diperhatikan, tapi sekali lagi ‘motif’nya, sesuatu yang lebih tidak kelihatan. Bagi penyelenggara, motif bikin festival ini apa, dan bagi seniman, motif menerima undangan dari ArtJog apa? Hubungan antara yang bikin acara dan seniman yang diundang kayak apa? 

Dulu, sejumlah penulis atau kritikus, sejak zaman kolonial suka meramal- ramal tentang masa depan seni rupa Indonesia. Kenapa bikin ramalan sih Trus, seniman tentu gemar juga membayangkan masa depan, kiamat, meramal kehidupan kedua, obsesi pada keabadian, dan seterusnya. Motif-motif semacam itu, merasa tahu sebelum kejadiannya tiba, weruh sakdurunge winarah kuat juga, seperti pada babad, serat, jangka, dan lain-lain itu. Sekarang, apakah ada yang lebih tahu dibandingin AI Lalu mau meramal apa? Ketiga ‘motif’ ArtJog itu menarik untuk selalu dibicarakan, dan bukan sesuatu yang baru.

Bambang Toko Witjaksono (BTW): Ya sebenarnya ini kan sudah dirancang ya, tema Motif itu ada trilogi, Lamaran, Ramalan, dan Amalan. Tetapi memang yang Amalan ini terutama adalah hubungannya dengan kondisi sosial politik dan budaya.

Kalau saya sih memaknainya amalan itu peran seni atau seniman, baik di dalam dunia seni rupa, masyarakat, maupun lingkungan. Nah itu banyak dipakai oleh seniman, tetapi memang yang kemudian jenis karyanya itu lebih kepada yang proses atau aktivasi-aktivasi. Makanya untuk momentumnya, kalau yang kemarin itu lebih banyak karya yang yang sudah jadi. Nah ini satu ada artefak, satu ada aktivitas, sehingga amalan itu akan lebih terlihat. Makanya banyak sekali yang aktivitas.

FX Harsono – The Last Survivors

Written: Istilah “Amalan” dapat diartikan dalam banyak cara—spiritual, sosial, ekologis. Dalam visi kuratorial Anda, apakah “Amalan” merupakan seruan preskriptif untuk bertindak bagi para seniman, atau lebih merupakan lensa diagnostik untuk mengamati apa yang sudah terjadi dalam praktik kontemporer? 

HWB: Sama sekali tidak spiritual, lebih ke sosial dan terutama, ekologis seperti kata Anda, kalau kita lihat  karya seniman penunjukan tahun ini, Anusapati. Dan banyak karya yang lain juga. Anusapati melihat lingkungan atau bumi kita sudah hancur dan sebenarnya tidak ada harapan apa-apa lagi. Sudah gelap, tanpa cahaya kayak ruang di bawah, tempat dia menggantung akar-akar pohon mati itu.

Sejak 1990-an, sensusecologicus Anusapati sudah kuat sekali pada karya-karyanya. Apakah karyanya, juga karya-karya seniman lain di pameran mendorong orang bertindak, semoga iya. Tapi, tentu saja tidak cuma itu, karena motif tindakan seseorang kan bisa dari mana dan didorong apa saja yang dipikirkannya. Karya seni, mungkin menyumbang kecil sekali, atau mungkin hampir tidak ada atau tidak kelihatan. Yang mau dikatakan adalah kepekaan artistik, atau sensibilitas estetik seniman  idak sama sekali kosong dari ‘tindakan’. 

Selain itu memamerkan karya-karya seniman yang bergulat dengan isu-isu sangat kritis dan menginspirasi orang banyak juga merupakan ‘tindakan’ mengapresiasi dan lebih penting lagi menunjukkan keberpihakan kita pada ide-ide mereka.

karya Anusapati di ArtJog 2025
Anusapati – Secret of Eden

Tentang Audiens Sebagai Medium di ArtJog 2025

Written: Dengan karya dari ruangrupa dan Murakabi Movement di ArtJog 2025, audiens bukan lagi penonton pasif tetapi komponen aktif—bahkan sebuah medium. Dari sudut pandang teoretis, bagaimana hal ini mengubah definisi “karya seni”? Apakah sebuah karya benar-benar ada jika publik tidak terlibat dengannya seperti yang diharapkan?

HWB: Iya memang ada yang punya anggapan begitu. Seni tidak punya definisi tetap, batasannya tidak satu. Kaitannya dengan publik? Ada seniman yang tetap akan membikin ‘karya’ atau melakukan performans mesti tidak ada yang melihat atau peduli dengan apa yang mereka kerjakan. Kayak hobi, misalnya kan bisa saja. Motif semacam itu juga asik.

Motif untuk jadi seniman kan bukan untuk dikenal, masyhur, top, atau kaya raya, atau mesti produktif, itu motif-motif kebablasan yang sudah terlalu disetir oleh sistem jual-beli atau pasar di medan seni kita. Masa mau menikmati karya seni kok mesti membeli atau memiliki. Dukungan kepada seniman, misalnya kan bisa macam-macam, tidak mesti sifatnya transaksional kalau memang mau dukung beneran. Hahaha. 

Ruangrupa dan Murakabi Movement itu asik, karena selalu ingin berbagi pengetahuan dan kepekaan macam-macam dengan kita. Lebih sepuluh tahun lalu, ruru pernah bikin acara yang judulnya, “hanya memberi tak harap kembali”… Pengin memberi sesuatu pada masyarakat tanpa berharap dapat ‘kembalian’ apa-apa, kayak ‘gift’ atau hadiah yang kalau sudah diberikan ya, yang ngasih nggak usah mengingat-ingatnya lagi. 

‘Pahala’ itu kan salah satu istilah yang paling klise di masyarakat kita, kayak foto-foto politikus atau caleg yang klimis-klimis pada musim pemilihan ini itu…hahaha. Lawan kata ‘amalan’ itu sebenarnya ‘korupsi’.

Perguruan tamanruru di ArtJog 2025
ruangrupa – Perguruan Tamanruru

Written: Secara praktis, bagaimana Anda merancang lingkungan yang mendorong partisipasi tulus dan bukan kecanggungan atau keraguan? Isyarat visual, spasial, atau tekstual apa yang Anda gunakan untuk memberi pengunjung ArtJog 2025 “izin” untuk menyentuh, berkontribusi, dan menjadi bagian dari seni?

BTW: Sebenarnya kalau jenis karya yang partisipatif dan kemudian bahkan bisa disentuh dan sebagainya itu sudah beberapa tahun yang lalu. Tetapi bahwa peran serta penonton, pengunjung untuk bisa merasakan, menyentuh, berkontribusi dalam karya itu juga menjadi daya tarik.

Artinya dalam beberapa tahun ArtJog ini, keterlibatan pengunjung itu juga membuktikan bahwa seni itu tidak bisa kayak menara gading yang hanya berdiri sendiri. Nah aktivitas atau aktivasi itu juga sebenarnya juga berkorelasi dengan bagaimana perilaku pengunjung ketika mereka membuat video pendek ataupun foto-foto, selfie, dan sebagainya. Sehingga karya-karya seperti ini lebih pas dan memang lebih dimaui oleh pengunjung.

Tentang Warisan dan Masa Depan (“Afterlife“)

Written: “Amalan” menyiratkan sebuah perbuatan yang bertahan lama. Di luar durasi festival, apa “kehidupan setelahnya” (afterlife) yang dituju untuk pengetahuan dan pengalaman yang dihasilkan, terutama dari proyek-proyek partisipatoris? Adakah rencana atau harapan agar kolaborasi ini terus berlanjut? 

HWB: Iya, itu pe-ernya seniman saja, bukan pe-ernya ArtJog. ‘Amalan’nya ArtJog menurut saja adalah bikin festival sebagus-bagusnya, seindah-indahnya, sekeren-kerennya, semurah-murahnya. Amalannya sudah hampir 20 tahun, bikin festival tiap tahun dan jatuh bangun, tapi tetap bikin. 

Teman-teman di ArtJog itu keren karena semangatnya ngasih sesuatu yang terbaik yang mereka bisa untuk kotanya. Mereka yang di belakang panggung, kadang beberapa hari tidur hanya dua atau tiga jam, pokoknya yang tidak selalu kelihatan sebenarnya lebih keren dibandingin yang selalu pengin tampil paling depan, yang gemar pidato… Semua rekan di ArtJog semangatnya kayak gitu, tidak pengin tampil dan paling ogah disuruh tampil sebenarnya.

BTW: Sebenarnya seni itu membuka kesadaran. Bukan terus langsung kemudian menyelesaikan masalah sebagai solusi itu enggak. Tetapi bahwa lewat kesadaran itu dibangun dari partisipatoris itu ada pengalaman.

Nah pengalaman itu menurut saya lebih nyantol sebagai sebuah kesadaran. Karena keterlibatan itu membuat dia atau pengunjung itu berkontribusi dalam konsep-konsep karya yang diajukan. Sehingga ke depan mungkin bisa mix. Ya kolaborasi tetap.

Tetapi kan kemudian pertanyaannya apakah seperti apa jenis kolaborasinya? Apakah seniman dengan pengunjung saja atau bahkan seniman dan pengunjung dan mesin, seniman dan pengunjung lewat AI? Jadi secara konsep tetap ya kolaborasi, cuman jenis atau model-modelnya seperti apa itu yang menurut saya perlu dikembangkan.

Aditya Novali – Tender Notes

Written: Menurut Anda, peran apa yang seharusnya dimainkan ArtJog dalam menyikapi aspek-aspek yang lebih menantang dari dunia seni, seperti spekulasi pasar, prekaritas seniman, atau limbah lingkungan? 

HWB: Dukungan kepada seniman dan medan seni rupa ala ArtJog adalah memberi ruang seluas-luasnya untuk menghadirkan karya yang tidak cuma untuk sedap-sedapan atau pajangan, tapi mengolah isu atau concern seniman pada tema tertentu.

BTW: Sebenarnya kalau pasar itu hal yang berbeda ya. Artinya di ArtJog itu kan lebih kuatnya itu wacana atau tema. Nah dari situ kemudian bagaimana prekaritas senimannya akan diketahui, yang kedua juga bagaimana impact atau peran-peran seniman dalam hal yang lain, misalnya masyarakat maupun lingkungan itu akan lebih terlihat.

Kalau menurut saya bukan hanya senimannya ya, bahkan ArtJog-nya. Misalnya ArtJog juga sudah mulai memikirkan bagaimana limbah atau sampah-sampah yang selama ini ada di ArtJog, baik di pengunjung maupun panitia sendiri itu juga diolah. Jadi bukan hanya memilih tema, tapi juga bagaimana ArtJog memang berperan aktif di situ.

Karya Faelerie di ArtJog 2025
Faelerie – The Thirteen Offerings

Written: Open Call ArtJog 2025 memilih 16 seniman dari lebih dari 600 pendaftar. Selain memberi mereka platform, bimbingan atau dukungan seperti apa yang ArtJog berikan untuk memastikan kesempatan ini dapat diterjemahkan menjadi praktik yang berkelanjutan bagi para seniman muda ini? 

BTW: Untuk seniman Open Call memang pemilihannya itu sangat ketat. Terutama adalah bagaimana kami kurator dan Heri Pemad melihat, satu pastinya kesesuaian tema, yang kedua kebaruan. Tapi juga di kebaruan ini kita melihat potensi, jadi kadang seniman muda itu mereka potensial, tapi belum bisa efektif ketika akan ditampilkan di ArtJog. Belum mikir misalnya sampai ke lighting.

Tetapi itu juga sudah ada perkembangan ketika beberapa seniman yang Open Call itu sudah membuat rancangan display, ruangnya sudah disesuaikan yang di ArtJog. Jadi misalnya karyanya mau digantung, karyanya display-nya itu mengubah dinding dan sebagainya itu mereka sudah pikirkan. Cuma memang kadang malah kebanyakan ide tapi pada eksekusinya itu enggak pas.

Nah peran-peran kurator dan Heri Pemad itu kemudian yang mengoptimalkan itu. Karena kan kadang terlalu ramai, terlalu cerewet, penginnya itu semuanya tampil tapi kadang itu enggak efektif. Mungkin karena kami itu lebih hafal bagaimana flow dan perilaku pengunjung di ArtJog, dan apa yang lebih menguntungkan untuk ditonjolkan daripada semuanya itu ditonjolkan.

Focusing itu juga kita sampaikan ke seniman muda yang sudah lolos lagi. Jadi coaching-nya itu tidak sekedar tema tapi juga memberi wawasan-wawasan bahwa kemungkinan-kemungkinan ini bisa dikembangkan. Meskipun tidak harus semuanya langsung dikembangkan di ArtJog ini. Artinya ke depan itu bagaimana.

Karya Tisna Sanjaya di ArtJog 2025
Tisna Sanjaya – Seni Penjernih Air

Written: Setelah tiga tahun menjelajahi Lamaran, Ramalan, dan kini Amalan di ArtJog 2025, apa pergeseran paling signifikan yang Anda saksikan dalam ekosistem seni kontemporer Indonesia? Dan menurut Anda, apa percakapan paling mendesak yang perlu terjadi selanjutnya? 

HWB: Kayaknya perlu mengubah ‘motif’ seniman bikin karya yang tidak cuma karena pengin masyhur, keren, top dan kaya. Bisa saja dimulai dengan bertanya lagi, kenapa pengin jadi seniman? Kalau ternyata nggak ada jawabannya kan asik, tapi jangan nganggur dong.

Written: Setelah intensitas mewujudkan ArtJog 2025, karya mana di dalam pameran yang secara pribadi Anda nanti-nantikan untuk disambangi kembali, bukan sebagai kurator, tetapi murni sebagai seorang penikmat seni? 

HWB: Selalu ada keinginan untuk melihat perkembangan karya dan mendengarkan lagi ‘suara-suara’ dari seniman muda. Tiga seniman muda (Falerie, S. Urubingwaru, dan Veronica Liana) yang dapat penghargaan ArtJog tahun ini karyanya bagus banget.

S. Urubingwaru – The World Farewell Parade, Nikola Tesla and The Lost Dialogues of the Equatorial Scientist

BTW: Ya ada beberapa seniman muda yang kelihatan potensinya. Kalau misalnya harus menyebut nama, misalnya S. Urubingwaru. Dia kalau gambar sudah nggak masalah. Tapi ada banyak hal yang ingin dia sampaikan. Sketsanya, kemudian ada puisinya. Tapi yang PR-nya kan bagaimana menggabungkan itu menjadi satu kesatuan.

Ada juga Zuraisa. Eksplorasinya itu yang sekarang saya lihat malah teknis, terlalu teknis sehingga kelihatan seperti keramikus padahal dia basic-nya pelukis. Nah nggak usah peduli dengan pakem keramikus lebih bebas aja lebih dalam dalam “ngawur”nya itu tapi artistik. Nah itu yang mungkin mereka masih takut-takut.

artjog 2025
Zuraisa – Traces of Eve’s Good Deeds

Written: “Amalan” bisa menjadi panggilan yang kuat bagi pengunjung untuk mendefinisikan praktik mereka sendiri. Apa satu nasihat bagi mereka—satu “amalan baik”—untuk dipegang saat mereka membangun karier di dunia yang kompleks ini?

HWB: Menekuni sesuatu tanpa berharap ada ‘pahala’nya. Tidak ada amalan besar atau kecil, baik atau buruk, semua amalan sama saja bobotnya.

BTW: Bukan nasehat ya tapi sebenarnya konsep bagaimana menjadi seorang seniman itu ya jujur terhadap dirinya. Karena begini sekarang yang terjadi karena saya banyak membimbing murid-murid saya. Faktor pasar itu pengaruhnya sangat besar, tetapi itu sebenarnya tidak mempunyai korelasi langsung dengan kualitas. Ya ada sebagian, tapi pasar itu punya rumus sendiri.

Belum tentu yang berkualitas itu laku. Belum tentu juga yang tidak berkualitas tidak laku. Tetapi ketika membuat karya ya yang dikejar kualitas dulu. Kualitas artinya ya konsepnya mateng, teknisnya mateng, sampai eksplorasinya juga maksimal terus sampai ke display-nya gitu. Ketika dinikmati pengunjung itu mereka akan muncul rasa penasaran sehingga mereka pengin tahu lebih dalam tentang karya itu.

Pasar bukan kemudian dihindari. Tetapi ketika nyemplung pasar ya tahu persis apa itu dunia pasar seni rupa. Artinya ketika karya dibeli itu ya harus tahu pool kolektor-kolektornya, dunia kolektor seperti apa, bagaimana mereka memperlakukan karya, dan juga bagaimana seniman bertanggung jawab pada supply and demand itu penting.

Karena mau nggak mau hukum ekonomi yang paling gampang itu kan supply and demand, seniman harus tahu. Kalau nggak bisa saja laku tapi nggak lama. Itu harus diatur. Cara ngaturnya bagaimana ya ngobrol dan belajar banyak dari seniman senior.

karya Masaru Tainaka di ArtJog 2025
Masaru Tainaka – In a Slumber – Skin Tire

SHARE :
WhatsApp
Facebook
Twitter
Email
Artikel Lainnya