Alasan Novelis Wanita Memilih Nama Samaran

Sahiri

Sepenggal pertanyaan klasik kerap timbul saat membahas soal nama. “Apalah arti sebuah nama? Mawar pun akan sama harumnya jika diberi nama lain.” Namun nyatanya, bagi beberapa novelis wanita (dan penerbit mereka), pemilihan nama tepat merupakan sesuatu yang strategis.

Ambil contoh J.K Rowling, sang penulis seri novel fantasi populer Harry Potter. Nama depannya adalah Joanne. Namun ketika hendak menerbitkan novel tentang petualangan seorang boy wizard, ia disarankan untuk menggunakan inisial (tambahan “K” berasal dari nama neneknya, Kathleen). Hal ini dilakukan karena penerbitnya khawatir nama seorang wanita tak menjual di kalangan pembaca anak laki-laki.

Alasan yang condong sexist, dan memang Harry Potter terbukti jadi salah satu best-selling novel of all time—yang ditulis seorang wanita. Apakah novel tersebut bakal sama suksesnya apabila tertera nama aslinya? We’ll never know. Ironisnya, Rowling justru memilih nama yang sangat maskulin, Robert Galbraith, untuk menulis rangkaian novelnya yang serius seperti The Cuckoo’s Calling dan The Ink Black Heart.  

Penggunaan pen name, atau pseudonim, merupakan praktik lazim di kalangan novelis, termasuk juga pria. Alasannya pun beraneka ragam. Rowling memilih nama berbeda untuk mengarang novel bergenre crime karena namanya sudah sangat identik dengan kisah fantasi Harry Potter. Awalnya, Rowling justru tidak menyingkap kalau dialah penulis asli novel yang lebih ditujukan ke pembaca dewasa tersebut.

Senasib dengan Rowling, masih banyak lagi novelis perempuan yang menggunakan nama pena maskulin. Kakak-adik Charlotte, Emily, dan Anne Bronte pada awalnya terpaksa memakai nama laki-laki agar karya mereka bisa lebih komersial dan menghindari prasangka gender.

Charlotte menjadi Currer Bell untuk Jane Eyre, Emily jadi Ellis Bell untuk Wuthering Heights, dan Anne jadi Acton Bell untuk Agnes Grey. Nyatanya, novel-novel Bronte sisters tersebut, yang ketiganya sama-sama terbit pada 1847, telah menjadi karya klasik dalam pembahasan sejarah sastra dunia.

Nama yang telanjur mendunia memang kerap jadi beban. Ekspektasi pembaca bakal selalu menantikan genre dan konten yang sama saat melihat nama mereka tertera di sampul depan sebuah novel. Oleh karena itulah novelis wanita setenar Agatha Christie memilih pseudonim untuk seri novel yang tidak berkisar pada aksi Hercule Poirot atau Miss Marple.

Selain kepiawaian menulis cerita misteri, ternyata Christie juga menyukai genre roman erotis. Maka ia pun memilih nama samaran untuk menulis rangkaian novel romannya seperti Giant’s Bread, The Burden, dan The Rose and The Yew Tree. Karena ia berada dalam jalur roman yang secara umum digandrungi wanita, maka pen name yang ia pilih pun tetap nama perempuan, yakni Mary Westmacott.

Bagaimana dengan penulis wanita asal Indonesia? Sariamin Ismail mungkin adalah nama yang tak terlalu dikenal luas, tapi justru ia telah mencatat sejarah sebagai novelis wanita pertama di Indonesia. Wanita asal Sumatra Barat ini mengawali karier sebagai seorang guru dan sebagai kegiatan sampingan ia aktif di organisasi wanita di mana ia vokal soal isu kesetaraan gender.

Sariamin menerbitkan novel pertamanya, Kalau Tak Untung (1933), menggunakan nama samaran Selasih untuk menghindari endusan aparat kolonial. Novel pertamanya sendiri tidak berbau politik, justru lebih ke roman yang mencerminkan kisah hidupnya, tapi Sariamin sudah memakai nama samaran tersebut—dan nama-nama lainnya—untuk tulisan-tulisan politisnya di berbagai publikasi harian.

novelis wanita

Tentu masih banyak lagi mengapa seorang penulis memilih nama samaran untuk menerbitkan novel, dengan alasan yang paling sederhana adalah nama asli mereka yang kurang terdengar komersial. Sama seperti seniman lainnya entah itu aktor, penyanyi atau pelukis yang memilih nama panggung untuk menampilkan karya mereka.

Sebut saja Anne Rice, pengarang Interview with The Vampire, yang memiliki nama sangat panjang dan, anehnya, maskulin: Howard Allen Frances O’Brien. Dan kadang ada juga penulis yang memang tidak ingin diketahui identitasnya lantaran tak mau kehidupan pribadinya jadi sorotan media dan publik.

Salah satu yang paling menonjol adalah sosok misterius Elena Ferrante asal Itali yang mengarang novel empat seri yang diberi nama Neapolitan Novels (seri pertamanya, My Brillian Friend, telah diadaptasi jadi serial HBO). Hingga kini tidak diketahui identitas asli di balik pseudonim Elena Ferrante, yang dalam sebuah wawancara pernah mengatakan “Books, once they are written, have no need of their authors.

SHARE :
WhatsApp
Facebook
Twitter
Email
Artikel Lainnya