Belajar Sejarah Indonesia dari 5 Novel Ini

Sahiri

Medium sastra telah sering digunakan sebagai alat untuk merekam sejarah, termasuk sejarah Indonesia. Supaya pengalaman membacanya lebih gampang dicerna maka banyak penulis yang memilih genre historical fiction, yakni di mana kisah sejarah diberikan bumbu fiktif yang bisa berupa roman, horor ataupun fantasi.

Novel bergenre fiksi sejarah ini kerap menjadikan momen tertentu dalam sejarah sebagai latar belakang dan karakternya entah jadi bagian dari sejarah tersebut atau hanya rakyat biasa yang terdampak hidupnya di bawah zaman kolonial.

Novel-novel klasik internasional seperti War & Peace, The Count of Monte Cristo, dan Crime & Punishment merupakan contoh novel historical fiction terbaik. Nah dari kubu Indonesia sebetulnya ada banyak juga pilihan novel fiksi sejarah yang tidak ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Bahkan beberapa novel ini cukup kreatif dalam membalut elemen sejarah dalam konteks cerita yang terbilang ringan dan bahkan jenaka.

Berikut lima novel bergenre historical fiction pilihan Written yang wajib kamu baca, sambil menjajal ruang baca seru di Jakarta.

Gadis Kretek

Novel historical fiction karangan Ratih Kumala ini berkisah tentang pencarian seorang wanita yang namanya disebut oleh seorang pengusaha kretek bernama Soeraja menjelang kematiannya. Dalam pencarian mereka, ketiga anak sang pengusaha mengungkap kehidupan masa lalu ayahnya dan rahasia usahanya berkembang pesat.

Alur cerita novel Gadis Kretek (2012) berlatar belakang masa Indonesia dalam penjajahan Jepang yang kemudian berlanjut hingga tragedi G30S. Meskipun terbilang ringan dan cenderung lebih berpusat pada kisah roman antara Soeraja dan Jeng Yah, si Gadis Kretek pada judul, tapi novel yang telah diadaptasi jadi serial Netflix dibintangi oleh Dian Sastro ini tetap menarik dibaca. Apalagi bagi kamu yang penasaran bagaimana kehidupan di bawah masa kependudukan Jepang, terutama bagi warga pribumi yang punya usaha sendiri.

Cantik itu Luka

Suka baca cerita sejarah tapi yang agak twisted? Bacalah Cantik itu Luka karangan Eka Kurniawan, salah satu penulis yang konsisten dengan gaya berceritanya yang unik dan fantastis. A little trivia: Eka adalah suami Ratih Kumala.

Kisah Cantik itu Luka bergulir dari masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga era Kemerdekaan. Novel historical fiction ini memiliki beragam karakteryang dikepalai oleh Dewi Ayu, seorang wanita blasteran Belanda yang demi survival bekerja jadi pelacur. Cerita Dewi Ayu dan ketiga anak perempuannya dan hubungan mereka dengan pria-pria dalam hidup mereka jadi plot yang terpecah jadi beberapa bab dalam novel.

Untuk merumuskan kisah Cantik itu Luka dalam satu kalimat sebetulnya agak rumit karena alur cerita yang teramat kompleks, dan novel ini mengombinasikan berbagai genre mulai dari roman, horor, hingga sedikit dongeng. Tapi di balik itu semua, kisah perjuangan–dan  pejuang—kemerdekaan Indonesia tetap kental terasa, dengan penekanan pada kebiadaban tabiat manusia di saat perang.

Laut Bercerita

Untuk novel historical fiction yang bersifat lebih jurnalistik, Laut Bercerita karangan Leila Chudori jadi contoh terbaik. Sang penulis, yang berprofesi sebagai jurnalis, menyodorkan cerita tentang para aktivis zaman Reformasi 1998 melalui kacamata dua kakak beradik, Biru Laut dan Asmara Jati.

Novel dibagi jadi dua bab: yang pertama berkisah tentang Biru Laut, seorang mahasiswa Sastra Inggris yang menghilang setelah ia terlibat dalam gerakan aktivis yang kelak menumbangkan masa pemerintahan Soeharto selama 30 tahun; sementara bab kedua bercerita tentang Asmara Jati yang berupaya mencari sang kakak.

Novel Laut Bercerita jadi cuplikan sejarah kelam Indonesia, dan Leila memastikan keakuratan tiap detail cerita dengan melakukan riset mendalam serta mewawancara beberapa aktivis. Tak heran, novel fiksi sejarah ini terpilih dalam daftar 10 besar novel terbaik tahun 2014 Khatulistiwa Award.

Burung-Burung Manyar

Kita mungkin melihat zaman kolonial sebagai noda dalam ruang sejarah Indonesia. Namun nyatanya pada saat itu ada beberapa orang yang tak keberatan dengan masa pemerintahan Hindia Belanda.

Itulah yang jadi poin menarik dalam novel Burung-Burung Manyar karangan H.B Mangunwijaya. Tokoh utamanya, Teto, merupakan seseorang yang (awalnya) menentang perjuangan kemerdekaan dan memilih Indonesia tetap di bawah kependudukan Belanda—bukan Jepang—karena situasi politik dan ekonomi yang ia anggap lebih stabil.

Tema yang terbilang kontroversial, tapi Burung-Burung Manyar menyodorkan gaya bercerita, konflik, dan karakterisasi yang dinamis, dibumbui dengan elemen roman serta humor yang membuat novel historical fiction tak hanya edukatif namun juga menghibur.

Tanah Surga Merah

Gerakan Aceh Merdeka mungkin adalah penggalan masa lalu sejarah Indonesia yang tak banyak orang tahu. Nah novel Tanah Surga Merah, yang masuk dalam daftar 10 besar penghargaan Khatulistiwa tahun 2017,bisa jadi jembatan pengetahuan yang lebih mendalam tentang gerakan tersebut.

Kisah novel karangan Arafat Nur ini digiring oleh tokoh utama bernama Murad, mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka yang jadi buronan. Setelah sekian lama menghilang di pedalaman hutan ia akhirnya pulang ke kampung halaman untuk memulai hidup baru, meskipun rencananya tak berjalan semulus yang ia bayangkan.

Alur cerita realistis yang diselipi dengan elemen sejarah yang melibatkan konflik antara pelaku GAM dan militer Indonesia menjadikan buku ini sebagai salah satu novel historical fiction yang menarik untuk dibaca.

SHARE :
WhatsApp
Facebook
Twitter
Email
Artikel Lainnya