Salah satu ekspresi kebersamaan yang beberapa tahun belakangan sering dipakai adalah find your tribe. “Tribe” di sini maksudnya adalah suatu komunitas yang memiliki profesi atau passion sama, entah itu tentang film, musik, sastra, dan seni.
Dalam dunia seni, tiap tempat diawali dengan teater—Utan Kayu, Taman Ismail Marzuki, Salihara—sudah pasti dipopulasi oleh para seniman, tak hanya aktor tapi juga musisi, penulis, penari, desainer, sutradara, dan beragam seniman lainnya.
Menemukan tribe yang sepaham dan seprofesi tentu merupakan salah satu bagian terpenting dalam manifestasi jiwa artistik seorang seniman. Mengusung semangat itulah tempat like-minded people bersosialisasi (atau kadang disebut juga artist colonies atau artist commune atau dalam bahasa Indonesia, koloni seniman) seperti Shakespeare & Company diciptakan.
Bagi yang belum familier, Shakespeare & Company sebetulnya adalah sebuah toko buku. Meskipun memakai nama sang pujangga legendaris asal Inggris, tidak berlokasi di Inggris tapi di Paris.
Toko buku sederhana ini didirikan oleh pencinta sastra George Whitman pada 1951. Berkat atmosfer yang hip (pada masanya) sekaligus autentik dengan banyak menawarkan koleksi novel first edition, tak lama Shakespeare & Company jadi tempat berkumpulnya para penulis ternama pada masa itu. Tokoh-tokoh seperti Ernest Hemmingway, F. Scott Fitzgerald, James Joyce, T.S. Elliott, Anais Nin, Alan Ginsberg, dan masih banyak lagi.
Shakespeare & Company bahkan juga jadi tempat persinggahan bagi aspiring artists. Mereka diperbolehkan untuk tidur di antara rak-rak buku, dengan persyaratan mereka wajib baca buku setiap hari, volunteer bekerja di toko, dan menulis satu halaman autobiografi. Fun fact: seniman-seniman yang pernah singgah di Shakespeare & Co (dijuluki tumbleweeds) termasuk aktor Ethan Hawke dan sutradara Darren Arronofsky.
Kedungu Kolektif, sebuah Koloni Seniman
Konsep read, write, and sleep ini tampaknya menginspirasi pelukis asal Bandung, Iweng, dan Co untuk mendirikan Kedungu Kolektif. Merupakan sebuah koloni seniman berbasis di Bali, Kedungu Kolektif mengusung konsep stay, play & display. Siapapun (tak hanya seniman) boleh singgah dan tinggal, asal mereka memang menghargai seni atau memiliki keinginan untuk berkarya sesuai dengan minat mereka.
“Nama Kedungu Kolektif lahir dari teman-teman musisi, desainer, fotografer, dan yang lainnya,” kata Iweng. “Mereka ngumpul di tempatku setelah memperbincangkan arah ke mana tempat inspiratif ini menuju. Akhirnya jawaban kita kompak adalah jadi tempat tinggal, studio, dan ruang gelar. Menjadi semacam creative residence bagi siapa saja untuk berkarya dan bergembira. Sementara bagi aku sendiri inginnya jadi tempat menciptakan lukisan monumental untuk diapresiasi dan dikolaborasi dengan berbagai kreativitas media massa.”
Masih banyak lagi artist colonies yang telah jadi rumah singgah bagi seniman, seperti Songzhuan di Beijing yang berjiwa komunal dengan lokasi di countryside jauh dari pengaruh-pengaruh yang berniat untuk menyensor karya seni mereka; Yado di New York yang lebih bersifat seperti artist residence di mana terdapat kuota untuk partisipan dan menawarkan program-program kreatif yang lebih tertata; dan, yang paling menarik, Bussana Vecchia di Itali yang lebih cocok disebut artist village yang resmi berdiri pada 1950 oleh para seniman lokal setelah lama desa itu ditinggal karena gempa besar pada 1887.
Sebuah artist colony jelas memiliki peran besar dalam perkembangan artistik seorang seniman, baik bagi yang muda ataupun yang senior karena mereka bisa saling berbagi inspirasi dan sudut pandang. Namun, menurut George Whitman, bagi dia peran paling krusial dari tempat seperti Shakespeare & Company adalah uluran tangan suportif antar anggota komunitas.
Semua itu terangkum cerah dalam filosofinya: “Be not inhospitable to strangers lest they be angels in disguise.” Dan, siapa tahu, stranger itu merupakan bagian dari tribe yang selama ini senantiasa dicari.