Terdapat polemik soal kegiatan merajut yang tetap mengambang hingga kini: is it art or craft? Pasangan ini masih tetap dipakai dengan seni mengacu pada ekspresi artistik individu pada suatu medium seperti melukis atau memahat. Sementara bagian craft spesifik pada menciptakan sesuatu yang lebih praktis, fungsional, dekoratif, dan sesuai template yang sudah umum, seperti membuat kendi dari tanah liat atau menjahit/merajut.
Mengapa dipisah jika pada akhirnya kedua kegiatan tersebut sama menciptakan karya yang tentunya butuh elemen kreativitas?
Menurut buku Learning to Draw karya Ann Bermingham, alasan utamanya adalah karena craft atau keterampilan kebanyakan dilakukan oleh wanita. It’s a gendered activity—dan mungkin saja benar. Kita tentu memiliki kenangan melihat ibu atau nenek atau tante merajut di waktu senggang, sementara hampir tak pernah ada kenangan akan anggota keluarga laki-laki merajut.
Kegiatan merajut sendiri telah berlangsung berabad-abad (diperkirakan sejak abad 13). Meskipun dari wilayah mana tercetus masih belum bisa ditentukan hingga sekarang. Satu teori mengatakan merajut berasal dari Timur Tengah (yang khas akan pembuatan permadani dengan motif kompleks) lalu dibawa melalui jalur perdagangan ke seluruh dunia. Ada juga yang mengatakan Cina sebagai sumber seni merajut melihat dari peninggalan-peninggalan balutan kostum rajutan pada boneka-boneka zaman dahulu.
Pada abad 18 kegiatan merajut mulai menyebar luas. Banyak lukisan-lukisan yang menampilkan perempuan merajut dengan backdrop alam. Yang paling menarik adalah karya-karya Jean Francois Millais yang tampaknya memiliki “fetish” wanita muda merajut.
Satu trivia sejarah yang menarik tentang The Knitting Woman adalah ketika di awal abad 19 kegiatan yang dianggap kuno dan harmless ini dijadikan sebagai dalih untuk memata-matai. Di zaman Perang Dunia 1 dan 2 para wanita setengah baya yang terampil merajut dikerahkan sebagai mata-mata di kandang lawan.
Selain itu, merajut juga kian populer di kala perang, ketika wanita didorong untuk merajut sebagai salah satu kegiatan sosial—atau war effort—yang membantu melengkapi stok seragam militer.
Ann Bermingham berargumentasi karena merajut merupakan “pekerjaan perempuan”, maka kegiatan itu tak pernah dikategorikan sebagai seni. Suatu pandangan yang menurutnya lahir dari kacamata patriarkis (yang secara inheren sexist), apalagi merunut sejarah pelaku seni didominasi oleh pria, setidaknya pada masa lampau.
Sementara DaVinci atau Raden Saleh melukis, para wanita menyibukkan diri di rumah memasak, mengurus anak, dan merajut untuk mengisi waktu luang.
C’est la vie?
Seniman Rajut Kontemporer
Zaman telah berubah, dan peran gender pun berubah. Wanita kini telah memiliki peran aktif sebagai seniman (meskipun pria tetap mendominasi), dan kegiatan merajut perlahan dianggap serius sebagai karya seni yang kini mencakup beragam “subgenre” seperti merenda (crocheting), menyulam (embroidery), menenun (weaving), macrame, quilting, tapestry, dan lace-making.
Tentu menenun sudah tak asing lagi dalam budaya Indonesia. Beberapa kain tradisional seperti kain tenun ikat dan songket menggunakan teknik menenun sejak dahulu kala. Dan menenun bisa saja dianggap sebagai salah satu subkategori seni busana.
Sementara itu, merajut pun kian booming dengan sejumlah seniman lokal dan global mengedepankan seni berbasis rajut dalam karya-karya mereka. Beberapa yang paling terkenal ada Tuija Heikkenen asal Finlandia yang fokus pada renda untuk menciptakan karya seni yang cantik sekaligus wearable. Faith Humphrey Hill asal Amerika menciptakan lukisan portrait dengan teknik rajut yang kemudian ia buat versi digital.
Kate Jenkins asal Wales menyuguhkan kreasi berbasis renda berobjek makanan yang terlihat sangat “lezat” karena tampak begitu nyata. Haegue Yang membangun sculpture dan instalasi dari rajutan yang kadang berpusat pada tema feminis.
Yang terakhir, Ella Emhoff, anak tiri Wakil Presiden Amerika Kamala Harris, juga menciptakan karya lukisan berbasis rajut yang ia populerkan via akun IG. Di platform yang sama, ia juga mempromosikan komunitas Soft Hands Knit Club yang ia cetuskan.
Menariknya, dari Indonesia seniman rajut yang paling terkenal justru adalah seorang laki-laki. Dia adalah Mulyana asal Bandung yang memilih tema underwater sebagai fokus karya seninya untuk mengangkat awareness soal pentingnya menjaga ekosistem laut.
Ia menciptakan karakter Mogus sang gurita sebagai tokoh sentral dalam tiap kreasinya. Seniman yang dijuluki Mang Moel ini juga menggunakan bahan-bahan daur ulang yang ia dapatkan dari penjahit-penjahit. Rangkaian karyanya sudah go international di berbagai ajang seni bergengsi, dan dunia bawah lautnya bahkan pernah dipajang di etalase toko Hermes di Singapura.
Maka kini mungkin sudah saatnya menghapus pemisahan kategori art dan craft. Mengategorikan suatu karya sebagai “keterampilan” hanya karena diciptakan oleh wanita tentu merupakan pandangan yang outdated.
Jika seni didefinisikan sebagai “keahlian membuat karya yang bermutu berdasarkan kreativitas dan imajinasi”, maka kenapa tidak menginklusikan karya rajutan dan lainnya sebagai seni?