Satu adegan dalam serial Netflix Ripley menunjukkan sang tokoh utama terpincut oleh sebuah lukisan karya Caravaggio bertajuk David with The Head of Goliath yang terpajang di Galleria Borghese di Roma.
Ripley (Andrew Scott), seorang penipu dan sociopath, kontan merasa keterikatan batin dengan salah satu karya legendaris Caravaggio tersebut. Karya pengusik nurani yang jadi cermin akan situasi hidupnya saat itu.
Ripley jadi contoh terbaik akan cerita yang tidak secara langsung berkisah tentang seni atau seniman. Lebih tepatnya, cerita seperti Ripley mengedepankan pengaruh subjektif seni, trivial maupun masif, dalam kisah hidup tokoh utama.
Sebagai konteks, David and the Head of Goliath karya Caravaggio menampilkan sosok David memegang kepala Goliath dengan raut wajah yang anehnya tampak sedih atau bahkan simpatik—dan Ripley menginterpretasikan makna di balik lukisan sebagai ekspresi mengalahkan sisi jahat dalam diri. Masalahnya, ia tidak merasakan kesedihan seperti yang tertera pada wajah David.
Sedikit trivia, Caravaggio adalah seorang pionir aliran Baroque yang tenar berkat penggunaan teknik tendrisme yang memulas transisi putih ke hitam yang ekstrem. Kebanyakan lukisan Caravaggio terbalut dengan sapuan hitam pekat yang kian menyorot sisi kelam manusia (untuk menekankan elemen light vs. dark, penggarap serial Ripley mengemasnya dalam visual hitam-putih). Hal ini kemungkinan juga merupakan cerminan akan gejolak batinnya karena ia sendiri merupakan sosok kontroversial pada masanya.
Pengaruh Seni dalam Plot Film
Pengaruh seni atau seniman atas plot film (yang sebenarnya juga merupakan perwujudan karya seni dalam format audio visual) bukanlah hal yang baru. Yang umum digarap adalah biopic tentang seniman seperti Big Eyes, Basquiat, dan Pollock; tapi film seperti Ripley bukan tentang seni atau seniman. Namun cengkeraman mereka kental terasa dan ikut menginspirasi alur cerita.
Beberapa contoh lainnya termasuk Monalisa Smile (2003) yang bukan tentang lukisan Leonardo DaVinci paling terkenal melainkan tentang dinamika kehidupan seorang dosen seni (Julia Roberts) dan para mahasiswinya. Film Swedia The Square (2017) bercerita tentang instalasi seni yang menimbulkan kontroversi bahkan sebelum malam pembukaan.
Midnight in Paris (2011) berkisah tentang penulis novel yang secara ajaib bertemu dengan penulis dan seniman idolanya di masa lampau seperti Ernest Hemmingway dan Salvador Dali saat tengah malam di kota Paris; dan bahkan film Indonesia produksi Netflix, Mencuri Raden Saleh, bisa dibilang merupakan film dengan elemen seni tanpa fokus pada seni dan senimannya sendiri, ala DaVinci Code dan Thomas Crown Affair.
Selain itu, ada juga rangkaian film ikonis yang meminjam visual atau karakterisasi karya seni klasik, seperti Pan’s Labyrinth yang mengambil inspirasi dari lukisan Saturn Devouring His Sons karya Fransisco Goya untuk menciptakan tokoh monster Pale Man yang memiliki mata di kedua telapak tangannya (yang menurut sang sutradara, Guillermo Del Toro, juga terinspirasi oleh karakter anime).
Melancholia meminjam visual Ophelia karya John Everett Millais yang tengah berendam di kolam untuk sosok Kirsten Dunst di akhir cerita; Inception menerapkan visual dreamlike lanskap kota yang terbalik serupa dengan lukisan M.C Escher seperti Ascending and Descending dan House of Stairs; dan visual ikonis The Exorcist dan Truman Show mengambil inspirasi dari lukisan-lukisan Rene Magritte.
Tentu art imitating art bukanlah hal yang baru karena banyak medium seni yang mengambil inspirasi dari karya seni lainnya. Ketika dibuat dengan benar, sebetulnya istilah yang lebih tepat adalah, art complements art. Seperti Ripley yang mengomplemen—dan menebas—karya Caravaggio.