Kemalezedine Tentang Pasca Tradisi dalam Seni

Sahiri

kemalezedine

Dari keanekaragaman tema seni kontemporer, topik pasca tradisi jadi fokus utama seniman asal Yogyakarta, Kemalezedine. Ia pun membuka Lano Contemporary Art Gallery di Ubud, Bali – daerah yang menurutnya paling pas untuk membahas seputar pasca tradisi.

Lebih lanjut soal tema tersebut, Simak wawancara Written dengan Kemalezedine berikut.

Boleh ceritakan latar belakang perjalanan karier mas Kemal sebagai seniman?

Saya mulai fokus sebagai seniman penuh sejak kepindahan saya ke Bali tahun 2011. Sebelumnya saya di Jakarta, berkarya karena hobi dan sampingan di saat ada waktu senggang dari bekerja. Setelah berhenti bekerja tahun 2010, saya mencoba berkarya di Jakarta tapi sepertinya saya kesulitan untuk fokus.

Akhrinya saya memutuskan mencari tempat yang lebih kondusif untuk berkarya – saya memilih Ubud, Bali. Sejak itu bergulir saja saya berkarya dan berinteraksi dengan ekosistem seni rupa kontemporer Indonesia dan internasional.

Siapa saja role model yang menginspirasi gaya seni dan apa alasan spesifiknya?

Saya sebetulnya tidak punya spesifik gaya tertentu dalam berkarya. Saya berkarya karena ketertarikan saja akan hal-hal baru di dalam pemikiran-pemikiran yang muncul dalam seni rupa. Saya menyukai ide-ide dan cara berpikir seniman-seniman, kritikus, kurator, galeris atau pelaku-pelaku kesenian, bahkan yang muncul dari luar ekosistem seni rupa seperti musik, sastra ataupun sains saya bisa suka.

Bisa dibilang setiap karya yang saya buat adalah dunia yang baru dari hasil mencari tahu atau ketidaktahuan akan sesuatu; saya harus mengenalinya, mempelajari, merasakan bentuknya, garis, gestur. Mengumpulkannya sebagai satu kesatuan pengetahuan yang kemudian pengetahuan itu yang mendorong saya memunculkan laku/gerak motorik saya dalam berkarya. Proses ini yang selalu menarik di dalam saya berkarya.

Karya yang dipamerkan di Bali mengangkat tema pasca tradisi terutama dalam konteks Bali. Boleh jelaskan soal tema dan perspektif dari mas Kemal sendiri?

Post-tradisi merupakan sebuah ide atau wacana yang coba saya munculkan di dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Tentu saja saya tidak sendiri: saya dibantu oleh Pak Asmudjo Jono Irianto dan mas Army di dalam memahami sebuah kondisi sosial yang disebut pasca tradisi itu.

Post tradisi adalah suatu situasi/kondisi dimana individu yang tergabung dalam suatu ikatan sosial, hidup dalam modernitasnya tapi tetap menganut dan menjalankan nilai-nilai tradisinya. Post tradisi sangat tergantung pada aspek ruang, lokasi atau satuan kultural yang ada.

Modernitas suatu tempat adalah kunci di dalam kita membaca kondisi pos tradisi ini. Bali merupakan salah satu kondisi unik dalam wacana pos tradisi. Secara empiris modernitas Bali masih menunjukkan kehadiran tradisi yang kuat dalam kehidupan kesehariannya, tempat individu hidup di antara nilai tradisi dan modernitas, tetapi tradisi tidak lagi menjadi batasan mutlak bagi pilihan mereka.

Semisal menjadi seniman kontemporer kini merupakan pilihan terbuka bagi pemuda Bali. Sebuah kemungkinan yang muncul akibat infiltrasi nilai-nilai modernitas. Sehingga dapat dilihat bahwa seni rupa kontemporer Bali memiliki potensi untuk membangun identitas unik.

Jauh sebelum muncul istilah ini, saya memulainya bersama Neo Pitamaha di tahun 2012. Waktu itu saya bersama Mahendra Yasa, Tang Adimawan, dan Ketut Moniarta berusaha membaca ulang posisi seni lukis Bali di dalam seni rupa kontemporer kita. Tahun 2021 saya keluar dari kelompok ini dan mulai mewacanakan tentang pasca tradisi dengan membuat Lano Art Project bersama mas Army dan pak Asmudjo.

Kami kemudian di bantu oleh Elwin Mok sebagai partner bisnis kami membuat Lano Contemporary Art Gallery. Galeri yang secara spesifik mengangkat wacana-wacana post tradisi/ pasca tradisi di dalam lingkup seni kontemporer.

Apa yang bisa kita pelajari dari seni kontemporer khususnya di Bali? Siapa saja seniman (atau bentuk karya seni) kontemporer favorit mas Kemal?

Seni rupa kontemporer itu bersifat plural, daya tampungnya sangat luas pada perbedaan dan keragaman identitas. Artinya, seni rupa kontemporer memiliki kemampuan mengambil dan memaknai ulang seni rupa tradisi sebagai wacana berkarya, dan bagaimana kemudian seniman memiliki refleksi kritis terhadap suatu kondisi di dalam lingkup kehidupannya, termasuk masalah dunia dan lingkungan kita ini. Seni kontemporer dengan intelektualitas dan kehadiran karya-karyanya memiliki posisi penting.

Saya punya banyak sekali seniman favorit, tergantung dari bagaimana seniman itu memunculkan ide-idenya. Mungkin agak susah ya untuk bisa memunculkan satu atau dua nama, karena karya-karya mereka memiliki konteks yang menarik untuk dijadikan favorit atau menyegarkan kita di saat mengapresiasi karya-karyanya.

Sebut saja seniman-seniman seperti Rachel Whiteread, Jackson Pollock, Frank Stella, David Hockney, Katie Paterson, Marina Abramovich, Jeff Koon, Tenmyouya Hisashi, Makoto Aida, dan masih banyak lagi. Di Indonesia belakangan ini saya sangat menyukai Nyoman Ngendon, Murniasih, Made Wianta, Nyoman Tjokot. Terlalu banyak yang saya suka, tergantung konteks keberadaan mereka dengan karya-karyanya.

Apa saja highlight karya yang ditampilkan dalam pameran?

Di dalam pameran ini saya membuat karya berdasarkan atas medium-medium utama yang dipakai di dalam seni lukis Bali, seperti misalnya perilaku drawing/gambar, tinta, teknik lukisan Bali, simbol-simbol ornamen, dan kanvas.

Lalu bagaimana kemudian medium yang disebut sebagai utama dalam tradisi ini bertemu dengan medium baru (resin) dan bentuk yang baru (abstraksi bentuk). Peristiwa pertemuan medium ini yang berusaha saya “bekukan” sebagai simbol dari sebuah kondisi yang disebut pasca tradisi.

Apa takeaway yang diharapkan dari pengunjung yang hadir ke pameran?

Saya ingin pengunjung memiliki pengetahuan baru dan ikut berpikir serta merasakan tentang apa itu tradisi, identitas, modernitas, dan seni itu sendiri saat datang ke pameran. Terutama bagaimana seni rupa itu memiliki kelebihan di dalam menangkap sebuah peristiwa dan kondisi tertentu yang terjadi pada manusia.

Dengan begitu, pengunjung pun nanti memiliki refleksi kritis terhadap sebuah kondisi dan memiliki sikap-sikap manusiawi yang bisa kemudian ia dorong untuk menyikapi kehidupannya menjadi lebih baik.

SHARE :
WhatsApp
Facebook
Twitter
Email
Artikel Lainnya