Koleksi Pita Maha merupakan koleksi seni asal Bali yang jadi saksi akan sejarah progresi seni di Nusantara. Sejarah yang dimulai pada 1936 yang dipelopori oleh seniman barat (Walter Spies dan Rudolf Bonnet)dan seniman Bali asal Ubud (Raja Ubud Tjokorda Gede Agung Soekawati, dan I Gusti Nyoman Lempad) yang kemudian memberikan pengaruh goresan dan inspirasi “modern” pada karya seni lokal.
Namun tak banyak yang tahu soal Pita Maha di Indonesia di luar komunitas seniman—kenapa? Pertama, karena koleksi tersebut tersimpan di Belanda selama puluhan tahun, dan baru sekarang mulai terkuak semenjak dimulai “cicilan” repatriasi karya seni Indonesia dari Belanda.
Repatriasi seni belakangan jadi topik hangat ketika Museum Nasional, yang meresmikan grand launching sejak kebakaran tahun 2023 lalu, menggelar Pameran Repatriasi yang memamerkan koleksi benda seni bersejarah Tanah Air yang dipulangkan dari Belanda.
Isu repatriasi seni mulai marak paska perang sekitar tahun 1950an dan beberapa konvensi—seperti Unesco Convention pada 1970 yang mewajibkan pengembalian objek bersejarah apabila memiliki bukti kepemilikan—telah mengeluarkan mandat akan pengembalian benda-benda seni yang dijarah di masa kolonial.
Yang jelas, repatriasi seni antara negara penjajah dan terjajah merupakan perwujudan akan pengakuan kesalahan di masa lampau, penerapan keadilan restoratif (restorative justice), dan penguatan hubungan bilateral untuk ke depannya.
Beberapa contoh repatriasi seni termasuk pengembalian patung Herakles dari Museum of Fine Arts Boston ke Turki pada 2011 dan patung perunggu Dewa Shiva dari National Gallery of Australia ke India pada 2018.
Sementara untuk repatriasi seni dari Belanda ke Indonesia, “Merupakan ikhtiar untuk melunasi utang dari sejarah—dan menjadi satu hal yang diidam-idamkan sejak kita baru merdeka,” kata Bonnie Triyana, Sekretaris Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia.
Pada 10 Juli 2023, pemerintah Belanda resmi mengembalikan 472 karya seni dan artefak yang diambil secara ilegal atau dijarah pada masa kolonial. Benda-benda tersebut mencakup 355 objek emas dan perak dari Lombok, empat patung Kerajaan Singasari, Keris Kerajaan Klungkung, dan 132 karya seni Bali yang dikenal sebagai Koleksi Pita Maha.
Walau begitu, baru sebagian saja karya seni repatriasi yang dipamerkan di Museum Nasional Indonesia, yaitu sebanyak 288 karya seni (atau yang dalam laman MNI disebut “objek budaya bersejarah”).
Alasannya adalah karena butuh proses panjang yang disebut provenance research atau penelitian asal-usul agar bisa membuat dokumentasi dan memastikan kepemilikan awal akan benda seni dan artefak yang dikembalikan.
Untuk sementara waktu, publik baru bisa menyaksikan 288 rangkaian benda cagar budaya seperti arca Ganesha, arca Brahma, dua arca Candi Singosari, dan 284 artefak dari koleksi Perang Puputan Badung dan Puputan Tabanan.
(Koleksi Pita Maha secara teknis bukan objek seni yang dirampas atau dijarah karena koleksi tersebut “tertinggal” di Belanda paska ekshibisi karena status Negara Indonesia Timur yang dibubarkan.)
“Kepulangan benda-benda cagar budaya ini dan penyajiannya pada Pameran Repatriasi dan tata pamer MNI nantinya akan memberikan kesempatan bagi publik untuk mempelajari sejarah dan nilai-nilai penting dari warisan budaya sebagai bagian dari penguatan karakter bangsa untuk masa depan Indonesia yang lebih baik,” ujar Ni Luh Putu Chandra Dewi, Penanggung Jawab Unit Museum Nasional Indonesia, pada laman MNI.